Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

1446 Hijriah, Polusi Pragmatis, dan Menjadi Manusia yang Menghargai

7 Juli 2024   14:24 Diperbarui: 7 Juli 2024   15:29 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perilaku pragmatisme adalah sifat atau ciri seseorang yang cenderung berpikir praktis, sempit dan instant. Orang yang mempunyai sifat pragmatis ini menginginkan segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diharapkan ingin segera tercapai tanpa mau berpikir panjang dan tanpa melalui proses yang lama.

Orang yang berperilaku pragmatis, belum terdidik, belum cerdas, miskin hati, maka sangat mudah menyepelekan, meremehkan, merendahkan, tidak menghargai  "sesuatu", dan lainnya.

Orang yang berperilaku pragmatis, sudah terdidik, sudah cerdas, miskin hati, maka akan licik, sangat mudah menyepelekan, meremehkan, merendahkan, tidak menghargai  "sesuatu", dan lainnya.

Bila ditelisik secara komprehensip, saya malah menyebut, sebagian besar manusia Indonesia yang seharusnya menjadi teladan di negeri ini, justru sudah terjangkit polusi pragmatisme yang maha hebat di setiap jiwa (pikiran dan hati) yang terpancar cerminannya dalam praktik di semua lini kehidupan?

Sampai-sampai, demi ambisi tahta, harta, dinasti, oligarki, putus urat malunya. Ada yang menelanjangi diri dengan perilaku asusila. Ada yang mengabaikan moral, etika. Padahal statusnya, seharusnya menjadi panutan, teladan.

Lihatlah! Dalam lingkungan keluarga, pertemanan, persahabatan, masyarakat, perkumpulan, kekeluargaan, organisasi masyarakat,  instansi, institusi, parlemen, hingga pemerintahan. Dari rakyat jelata hingga yang menganggap dirinya kaum elite/sultan. Semua kini sulit membedakan mana yang sudah terdidik dan mana yang belum terdidik. Mana yang benar-benar beragama, bukan bertopeng.

Jiwa-raga, budi-hati

Terkait polusi pragmatisme ini, diberbagai media pun ramai menulis tentang apa yang diresahkan oleh Ketua Umum sebuah Partai Politik, yang juga sosok negarawati di Indonesia.

Apa yang diresahkan sosok ini, secara obyektif, sesuai fakta yang sudah saya ulas, pernyataannya: saya sangat setuju.

Sebagai rakyat jelata, saya juga berterima kasih karena sudah diingatkan tentang makna dari tiga stanza pada lagu kebangsaan "Indonesia Raya" yang selama ini "TERABAIKAN".

Stanza pertama: membangun jiwa dan badan karena tidak bisa membangun badan jika tidak ada jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun