Dengan demikian, memahami akar dan dampak perilaku 'sok tahu' adalah langkah penting dalam upaya menciptakan lingkungan sosial yang lebih inklusif, responsif, dan berbasis pengetahuan yang kuat.
Inklusif adalah menyeluruh, melibatkan semua orang dari berbagai kelompok tanpa meninggalkan salah satunya. Responsif bermakna nilai yang terwujud dalam bentuk perilaku kerja yang senantiasa mengembangkan sikap proaktif, kooperatif, kritis, suportif, peka terhadap situasi dan kebutuhan lingkungan kerja, mampu memanfaatkan peluang dan tantangan yang ada, serta melayani secara prima pihak - pihak yang berkepentingan.
Ayo, setop perilaku "sok tahu" khususnya terkait hal sepak bola, bila tidak memiliki bekal pengetahuan dan pengalaman khusus terkait sepak bola. Sadarlah, perilaku "sok tahu" tentang hal sepak bola, yang bahkan dilakukan oleh para pengamat sepak bola mau pun komentator sepak bola yang suka "dikarbit" di saluran televisi dan saluran media sosial, bukan menjadi contoh yang baik bagi rakyat atau publik pecinta sepak bola nasional. Malah dapat menyesatkan.
Lihatlah, akibat perlaku "sok tahu" ini, apakah para pemain dan pelatih Timnas Indonesia U-23 tidak menjadi korban? Menang dipuji. Kalah dicaci. Parahnya, "sok tahu"-nya asal bunyi. Tanpa fakta, dan data statistik.
Perhatikan, apakah dua kali gagal meraih tiket Olimpiade secara langsung dari arena Piala Asia U-23, tidak ada signifikasinya dari "banjir sok tahu" publik dan beberapa pihak di Indonesia? Jawabnya, ada.
Dielu-elukan. Dipuji habis-habisan saat menang atas Australia, Yordania, dan Korea Selatan. Saat kalah dari Uzbekistan dan Irak, bagaimana? Salah satu mental dan karakter orang "sok tahu" tidak dapat dan tidak mau menerima kenyataan. Menghujat adalah langkah yang dipilih.
Ada peluang vs Guinea
Terlepas dari fenomena "banjir sok tahu", apakah Witan cs akan kembali terperosok ke lubang yang sama? Kalah untuk yang ketiga kalinya?
Mengabaikan siapa Guinea dan peringkat FIFAnya, persiapan menuju playoff, sejatinya Garuda Muda lebih diuntungkan, karena kondisinya masih "on fire" usai Piala Asia U-23, lebih diuntungkan dibanding Guinea yang sudah rehat lama dari Turnamen Piala Afrika.
Namun, melihat dari "luar" tentang kondisi Garuda Muda yang sudah berkurang kekuatan aslinya, apakah STy mampu meracik komposisi pemain hingga membuat strategi dan taktik sesuai "game plane" demi meredam dan memenangi laga versus Guinea?
Saat anak asuh STy dibekuk Uzbeksitan, tiadanya Struick, sangat berpengaruh kepada keseimbangan tim. Begitu pun ketiadaan Rizky Ridho saat berjumpa Irak, Garuda Muda pun tidak berdaya.
Agar "tidak sok tahu", dengan mengungkap fakta dan data atas laga-laga yang sudah dilalui Witan cs, baik saat menang mau pun saat kalah di Piala Asia U-23, dengan kondisi pemain yang tidak lengkap, sudah terbukti sulit bagi STy mengantar Timnas Indonesia U-23 memenangi laga.