Hasil statistik buruk itu, semakin melengkapi dan memberikan justifikasi, bahwa tanpa sentuhan kepribadian, pedagogi, sosial, dan keagamaan yang benar dan baik oleh STy kepada pemain, benar-benar mengukuhkan paradigma potret buruk pendidikan di Indonesia benar adanya. Konsisten terjadi. Para pemain, masih apa adanya dengan bekal pendidikan mereka.
Show off, Â star syndrome, overconfidence, rendah hati
Pada akhirnya, saya menyimpulkan, bahwa hingga laga Timnas Indonesia  U-23 terakhir versus Irak, ibarat tanaman, STy telah menghasilkan buah (baca: pemain timnas) yang gagal menjadi manusia yang rendah hati.
Indikatornya, selain statistik buruk yang telah ditorehkan dan dicatat, nyatanya lahir buah/pemain yang beberapa kali tampil show off, Â star syndrome, dan overconfidence. Sangat egois dan individualis, karena kegagalan STy membentuk pemain yang bermental dan berkarakter rendah hati. Kekeringan dalam sentuhan kepribadian, pedagogi, sosial, dan keagamaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rendah hati adalah sifat tidak sombong atau tidak angkuh. Rendah hati sering juga disebut dengan tawaduk yang artinya tidak angkuh dan tidak sombong. Tidak egois. Tidak individualis. Seseorang yang memiliki sifat rendah hati selalu bersikap tenang, sederhana, dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan sombong. Menerima masukan, kritik, saran, mau belajar. Gemar instrospeksi dan merefleksi diri.
STy, memang telah membuktikan diri sebagai pelatih/guru yang mampu menaikan derajat sepak bola Indonesia. Namun, ibarat guru yang wajib memiliki empat kompetensi, sesuai Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Maka, STy saya pertanyakan kompetensi kepribadiannya, pedagogiknya, dan sosialnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H