Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Egois, Individualis: Wujud Kegagalan Pendekatan Kepribadian, Pedagogi, Sosial, dan Keagamaan

6 Mei 2024   13:00 Diperbarui: 6 Mei 2024   13:11 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tanaman buah yang ditanam dan dirawat dengan benar dan baik, hasil buahnya, terkadang belum tentu baik. Apalagi bila tanaman buah ditanam, tetapi tidak dirawat dengan benar dan baik, hasil buahnya, sulit sesuai harapan.

(Supartono JW.06052024)

Merefleksi keberadaan Timnas Indonesia U-23 dalam Piala Asia U-23 2024, sejak babak fase grup, delapan besar, semi final, dan partai perebutan juara ketiga, yang ujungnya gagal menggenggam tiket langsung ke Olimpiade Paris 2024, ada beberapa catatan yang wajib diperhatikan oleh PSSI. Sebab, bisa jadi, bila tidak ada perbaikan, Witan cs pun akan gagal pula di babak play off.

Catatan-catatan

Atas seluruh hasil yang dicapai oleh Witan cs di Piala Asia U-23 2024, yang melebihi target, sekadar lolos ke babak delapan besar. Bahkan mampu menyingkirkan Australia, Yordania, Korea Selatan. Lalu, menyulitkan Uzbekistan. Dan, menyulitkan diri sendiri untuk menang dari Irak, karena beberapa pemain gagal menjadi sosok yang rendah hati.

Saya mencatat, khusus bagian yang gagal/kalah, penyebabnya, salah satunya adalah ibarat pepatah "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Salah satu maknanya, segala tingkah laku guru akan ditiru. Siapa guru di Timnas Indonesia U-23? Dia adalah Shin Tae-yong (STy).

Sejatinya, atas kompetensi profesionalitasnya, STy telah membuktikan diri sebagi guru/pelatih yang berhasil mengangkat derajat sepak bola Indonesia. Dua kali menjungkalkan Vietnam dalam Kualifikasi Piala Dunia. Sekarang ada di ranking 134 FIFA. Terbaru membuat publik sepak bola dunia tercengang. Membawa tim debutan dalam Piala Asia U-23 2024, tetapi mampu finis di posisi empat, sebab mampu menyingkirkan tim-tim hebat.

Di luar kompetensi profesionalitas, keberhasilannya mengangkat derajat sepak bola nasional, kaitannnya dengan pepatah "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Yang salah satu maknanya, segala tingkah laku guru akan ditiru inilah, ternyata kompetensi lainnya, sepertinya tidak pernah diperhatikan oleh PSSI.

Masalah besar STy

Sejak hadir di Indonesia, sampai sekarang, di luar keberhasilan dan kesuksesan yang disumbangkan oleh STy untuk sepak bola Indonesia, STy sepertinya tidak pernah menyadari ada masalah besar, yang tidak dia perbaiki hingga saat ini. Masalah besar itu adalah

(1) STy tidak pernah berusaha untuk dapat menguasai bahasa Indonesia. Bahkan nampak tidak mau belajar, karena belum pernah terdengar berita, STy sedang belajar atau berupaya menguasai bahasa Indonesia.

(2) Masalah besar berikutnya, sebab tidak menguasai bahasa Indonesia, STy pun sulit melakukan pendekatan kepribadian, pendekatan pedagogi, dan pendekatan sosial kepada para pemainnya. Padahal ketiga pendekatan tersebut baik secara individu atau tim adalaha vital, dalam rangka membuat intelegensi (otak) dan personality (hati/emosi) pemain menjadi cerdas.

Sebab terkendala bahasa, aspek  mencerdaskan otak dan hati pemain pun terkendala.
Akibat dari kelemahan STy dalam soal bahasa, kompetensi kepribadian, pedagogi, sosial, dan aspek keagamaan, maka para pemain pun meniru tingkah laku STy. Dalam laga-laga timnas, STy pun bahkan berulang kali mendapatkan kartu kuning. Sebab, dirinya belum kompeten dalam 4 aspek.

Bila STy saja terkena kartu kuning karena tidak dapat mengendalikan diri, alias kurang cerdas intelegensi dan personalitynya, bagaimana para pemain/muridnya tidak meniru?

Lihatlah, pelanggaran demi pelanggaran, kartu kuning demi kartu kuning, kartu merah-demi kartu merah, tindakan egois dan individualis yang berulang-ulang, yang semuanya dilakukan oleh para pemain, ini memberi bukti bahwa para pemain sangat kekeringan dalam sentuhan kepribadian, pedagogi, sosial dan keagamaan oleh STy, terlebih STy tidak mampu berbahasa Indonesia.

Kasus Marselino

Lihatlah, bagaimana Marselino yang memang egois dan individualis, malah tambah "ngegas" saat diberi masukan oleh Ketua Umum PSSI, yang langsung direspon oleh netizen, sebab melihat dan merasakan hal yang sama, bahwa permainan sepak bola itu 11 orang bukan 1 atau 2 orang.

Apakah Marselino menjadi instrospeksi, lalu rendah hati. Tambah pongah dan sombong. Bahkan beberapa pemain sepak bola ada yang membela Marselino. Saya sebut pemain yang membela Marselino ini, juga sama, lemah intelegensi dan personality. Tidak mampu melihat akar masalahnya.

Saat manusia Indonesia masih gagal dalam pembentukan karakter berbudi pekerti luhurnya, akibat masih gagalnya pendidikan di Indonesia. Saya pikir STy pun ikut andil membiarkan para pemain nasional yang dipilihnya, bertambah lemah otak dan hatinya.

Contoh Indra, Fakhri, Bima

Lihatlah attitude para pemain timnas Indonesia yang pernah diasuh Indra Sjafri, Fakhri Husaini, dan Bima Sakti, sangat kental nampak perilaku pemain, ada jejak sentuhan kepribadian, pedagogi, sosial, dan keagamaannya.

Lihatlah statistik laga-laga yang pernah mereka pimpin. Apakah timnya menjadi tim terburuk dalam melakukan pelanggaran demi pelanggaran. Apakah para pemainnya berlangganan membuat pelanggaran? Menjadi "member" kartu kuning dan kartu merah? Pelatihnya juga gemar mengantongi kartu kuning dari wasit?

Lihatlah statistik akhir Piala Asia U-23 2024. Timnas Indonesia U-23, di luar prestasi yang mengagetkan dunia, prestasi lainnya yang tidak disorot dan tersorot adalah;
(1) Juara 1, tim dengan jumlah pelanggaran terbanyak (99 pelanggaran sejak fase grup sampai perebutan juara tiga)
(2) Juara 1, tim dengan kartu merah (3 kartu)
(3) Juara 1, pemain dengan jumlah pelanggaran terbanyak diraih oleh Marselino, diikuti Ferrari dan Struick.
(4) Juara 1, pelatih dengan kartu kuning terbanyak.
(5) Juara 1, dengan pemain yang egois dan individualis.

Hasil statistik buruk itu, semakin melengkapi dan memberikan justifikasi, bahwa tanpa sentuhan kepribadian, pedagogi, sosial, dan keagamaan yang benar dan baik oleh STy kepada pemain, benar-benar mengukuhkan paradigma potret buruk pendidikan di Indonesia benar adanya. Konsisten terjadi. Para pemain, masih apa adanya dengan bekal pendidikan mereka.

Show off,  star syndrome, overconfidence, rendah hati

Pada akhirnya, saya menyimpulkan, bahwa hingga laga Timnas Indonesia  U-23 terakhir versus Irak, ibarat tanaman, STy telah menghasilkan buah (baca: pemain timnas) yang gagal menjadi manusia yang rendah hati.

Indikatornya, selain statistik buruk yang telah ditorehkan dan dicatat, nyatanya lahir buah/pemain yang beberapa kali tampil show off,  star syndrome, dan overconfidence. Sangat egois dan individualis, karena kegagalan STy membentuk pemain yang bermental dan berkarakter rendah hati. Kekeringan dalam sentuhan kepribadian, pedagogi, sosial, dan keagamaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rendah hati adalah sifat tidak sombong atau tidak angkuh. Rendah hati sering juga disebut dengan tawaduk yang artinya tidak angkuh dan tidak sombong. Tidak egois. Tidak individualis. Seseorang yang memiliki sifat rendah hati selalu bersikap tenang, sederhana, dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan sombong. Menerima masukan, kritik, saran, mau belajar. Gemar instrospeksi dan merefleksi diri.

STy, memang telah membuktikan diri sebagai pelatih/guru yang mampu menaikan derajat sepak bola Indonesia. Namun, ibarat guru yang wajib memiliki empat kompetensi, sesuai Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Maka, STy saya pertanyakan kompetensi kepribadiannya, pedagogiknya, dan sosialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun