Harusnya meredam
Sejujurnya, apa yang dilakukan oleh Jokowi di saat lebaran, baik secara individu mau pun sebagai Presiden, adalah haknya.
Tetapi, Jokowi seharusnya menyadari bahwa sebagian rakyat Indonesia yang bukan 96 juta, sampai detik ini, pikiran dan hatinya masih dalam kondisi sensitif, akibat Pemilu Pilpres yang sekarang masih diproses di Mahkamah Konstitusi akibat adanya tuduhan Pemilu curang.
Mirisnya, kecurangan Pemilu yang sampai dianggap TSM itu, Jokowi dianggap sebagai dalangnya, bahkan merontokan etika dan moral.
Pertanyaan saya, mengapa Jokowi tidak rehat. Tidak meredam, tidak diam dulu, tidak refleksi diri. Tetapi malah terus melakukan manufer yang dianggap melanjutkan kampanye terselubung, demi mendukung dinastinya, merebut jabatan dan kekuasaan, memanfaatkan momentum dirinya yang masih berkuasa?
Tindakan Jokowi, tentu saja justru memancing awak media dan rakyat menjadi berpikir negatif. Menambah rakyat berbuat dosa lagi karena Jokowi memicu berbagai prasangka. Di saat suasana lebaran lagi. Hari kedua.
Kemarin, Gibran, Kaesang, didukung bahkan dengan terang-terangan. Kini, bila benar, berkampanye untuk Bobby. Berikutnya, sepertinya akan mendukung Erina istri Kaesang dalam Pilgub juga?
Pak Presiden, maaf, mengapa dalam situasi sebagian pikiran dan hati rakyat yang masih sensitif akibat cawe-cawe Bapak, Bapak justru terus tancap gas lagi?
Bukan sebaliknya meredam atau mengurangi. Bahkan menghilangkan pikiran dan hati rakyat yang sedang sensitif terhadap langkah Bapak. Mengapa Bapak hanya berpikir kepentingan Bapak, merasa didukung oleh 96 juta rakyat yang sesuai hasil KPU?
Saran saya, dengarkan kata hati nurani Bapak. Pikirkan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Bukan hanya rakyat pendukung dan pihak-pihak yang menjadi sponsor Bapak.
Sehingga, dalam suasana lebaran saja, Bapak sudah membuat kisah lanjutan tentang  jabatan dan kekuasaan di dunia, yang tidak akan di bawa mati.