Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu dalam buku Al-Wafi: Syarah Hadits Arba'in Imam an-Nawawi mendefinisikan wali allah, yakni para hamba Allah SWT sejati yang senantiasa melaksanakan ketaatan dan ikhlas mencari rida-Nya.
Dengan begitu dapat diartikan
bahwa waliyullah adalah hamba-hamba Allah SWT yang beriman, bertakwa, serta melakukan perbuatan taat semata-mata mencari ridha-Nya. Mereka yang menjadi wali Allah merupakan orang-orang pilihan yang dikehendaki oleh-Nya.
Sama seperti nabi dan rasul, siapa saja dan jumlah waliyullah sendiri tidak ada yang mengetahui kecuali Allah SWT. Namun, manusia dapat mengetahui wali Allah dari ciri-cirinya secara garis besarnya, yaitu:
(1) Tegas terhadap orang kafir yang memusuhi mukmin.
(2) Sayang terhadap sesama mukmin.
(3) Berjihad dengan harta, jiwa, dan raga.
(4) Melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Mengajak manusia kepada jalan yang benar dan mencegah kemungkaran.
(5) Teguh imannya.
(6) Menjadikan Allah sebagai penolong.
Dari ciri-ciri tersebut, setiap manusia, dapat masuk dalam kategori sebagai wali Allah, bila (6) ciri-cirinya terpenuhi.
Namun demikian, sebab sangat berat untuk memenuhi 6 ciri sebagai wali Allah, maka umat manusia dapat memulai dengan belajar mencintai dan merasa memiliki terhadap perkara akhirat dan duniawi dari drama menjadi nyata. Lisan dan perbuatan, benar-benar cermin dari pikiran dan hati nurani yang bersih, benar, baik, berintegritas, dan tidak munafik.
Polusi komentar, mendidik salah dan buruk
Bagaimana saya, kita akan menjadi manusia yang mencintai wali Allah dan menjauhkan diri dari musuh Allah, bila sejauh ibadah Ramadan yang sudah kita lalui, pikiran dan hati kita masih tetap kotor? Sebab, dalam perkara kehidupan duniawi, di beberapa lini, masih tidak membuat hati para manusia, khususnya di Indonesia beranjak menjadi bertaqwa yang benar dan baik.
Satu di antara beberapa Indikatornya, dapat dilihat pada betapa polusinya negeri ini dari komentar netizen terhadap berita/opini/artikel/konten unggahan, baik di media massa (medmas) mau pun di berbagai media sosial (medos), yang menjadi sarana pendidikan yang salah dan buruk.
Saya simpulkan, ternyata dari kolom komentar itu, betapa luar biasanya para manusia yang apakah benar berkomentar secara pribadi atau settingan, begitu mencintai dan sangat nampak merasa memiliki siapa yang dijadikan tuannya, junjungannya.
Sebab dalam kolom komentar tidak diketahui profil dan latar belakang si komentator ini, saya tidak dapat menilai, si komentator ini, menulis isi komentar, berangkat dari pikiran dan hati nuraninya yang bersih atau kotor. Manusia terdidik dan beragama atau tidak. Pesanan atau bagian dari skenario demi menggiring opini, atau bukan. Buzzer atau bukan. Pasalnya, rata-rata sudah tidak memakai nilai kesantunan. Tidak ada lagi etika, dan moral.
Begitu hebatnya rasa cinta dan rasa memiliki kepada tuan atau junjungannya itu, kepada lawan komentator pun, bahasa provokatif, kasar, mengejek, menghina, merendahkan, mengadu domba, memecah belah, dan sejenisnya, dijadikan andalan.
Dibiarkan oleh pemerintah?