Selain Pemilik langit, bumi, dan seluruh alam, pikiran dan hati nurani manusia terkaitlah, yang tahu bahwa dalam mencintai dan merasa memiliki terhadap "sesuatu", baik perkara akhirat dan dunia, fakta atau drama.
(Supartono JW.04042024)
Sesuai pikiran dan hati nurani saya, dalam mencintai dan merasa memiliki sesuatu tentang perkara akhirat dan dunia, mana yang fakta dan mana yang drama, saya tahu.
Karenanya, di bulan yang penuh berkah dan ampunan, Ramadan 1445 Hijriah, artikel ke-25, saya mengingatkan dan mengajak diri saya sendiri untuk dapat mengubah rasa mencintai dan  rasa memiliki terhadap sesuatu baik perkara akhirat dan dunia yang masih dalam taraf drama, menjadi fakta. Selaras lisan dan perbuatannya dengan kenyataan.
Kekasih Allah
Seperti doa Ramadan hari ke-25 yang artinya:
"Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini lebih mencintai para wali-Mu dan memusuhi musuh-musuh-Mu. Jadikanlah aku pengikut sunnah Nabi penutup-Mu. Wahai yang menjaga hati para nabi."
Sesuai KBBI, mencintai adalah menaruh kasih sayang kepada atau menyukai. Dengan begitu, orang yang mencintai, biasanya akan ada perasaan memiliki terhadap yang dicintai (Sense of belonging) secara positif, benar, dan baik.
Terkait mencintai para wali-Nya, sesuai dengan doa hari ke-25, selain nabi dan rasul, dalam Islam dikenal pula istilah waliyullah atau wali Allah. Dalam Al-Qur'an, waliyullah diartikan sebagai kekasih Allah SWT.
Mengutip buku Waliyullah Perspektif Al-Qur'an: Penafsiran Ibnu Taimiyah tentang Kekasih Allah oleh Badrudin, kata waliyullah merupakan gabungan dari kata "wali" dan "Allah". Lafaz "wali" adalah turunan dari kata "walyu" yang artinya dekat atau kedekatan.
"Wali" merupakan bentuk tunggal, sementara bentuk jamaknya yakni "awliya". Bentuk jamaknya inilah yang disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Jumu'ah ayat 6 dan memiliki arti para kekasih Allah SWT.
Dalam Surat Yunus ayat 62-63 dijelaskan pula bahwa, waliyullah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta tidak memiliki perasaan takut maupun sedih.
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu dalam buku Al-Wafi: Syarah Hadits Arba'in Imam an-Nawawi mendefinisikan wali allah, yakni para hamba Allah SWT sejati yang senantiasa melaksanakan ketaatan dan ikhlas mencari rida-Nya.
Dengan begitu dapat diartikan
bahwa waliyullah adalah hamba-hamba Allah SWT yang beriman, bertakwa, serta melakukan perbuatan taat semata-mata mencari ridha-Nya. Mereka yang menjadi wali Allah merupakan orang-orang pilihan yang dikehendaki oleh-Nya.
Sama seperti nabi dan rasul, siapa saja dan jumlah waliyullah sendiri tidak ada yang mengetahui kecuali Allah SWT. Namun, manusia dapat mengetahui wali Allah dari ciri-cirinya secara garis besarnya, yaitu:
(1) Tegas terhadap orang kafir yang memusuhi mukmin.
(2) Sayang terhadap sesama mukmin.
(3) Berjihad dengan harta, jiwa, dan raga.
(4) Melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Mengajak manusia kepada jalan yang benar dan mencegah kemungkaran.
(5) Teguh imannya.
(6) Menjadikan Allah sebagai penolong.
Dari ciri-ciri tersebut, setiap manusia, dapat masuk dalam kategori sebagai wali Allah, bila (6) ciri-cirinya terpenuhi.
Namun demikian, sebab sangat berat untuk memenuhi 6 ciri sebagai wali Allah, maka umat manusia dapat memulai dengan belajar mencintai dan merasa memiliki terhadap perkara akhirat dan duniawi dari drama menjadi nyata. Lisan dan perbuatan, benar-benar cermin dari pikiran dan hati nurani yang bersih, benar, baik, berintegritas, dan tidak munafik.
Polusi komentar, mendidik salah dan buruk
Bagaimana saya, kita akan menjadi manusia yang mencintai wali Allah dan menjauhkan diri dari musuh Allah, bila sejauh ibadah Ramadan yang sudah kita lalui, pikiran dan hati kita masih tetap kotor? Sebab, dalam perkara kehidupan duniawi, di beberapa lini, masih tidak membuat hati para manusia, khususnya di Indonesia beranjak menjadi bertaqwa yang benar dan baik.
Satu di antara beberapa Indikatornya, dapat dilihat pada betapa polusinya negeri ini dari komentar netizen terhadap berita/opini/artikel/konten unggahan, baik di media massa (medmas) mau pun di berbagai media sosial (medos), yang menjadi sarana pendidikan yang salah dan buruk.
Saya simpulkan, ternyata dari kolom komentar itu, betapa luar biasanya para manusia yang apakah benar berkomentar secara pribadi atau settingan, begitu mencintai dan sangat nampak merasa memiliki siapa yang dijadikan tuannya, junjungannya.
Sebab dalam kolom komentar tidak diketahui profil dan latar belakang si komentator ini, saya tidak dapat menilai, si komentator ini, menulis isi komentar, berangkat dari pikiran dan hati nuraninya yang bersih atau kotor. Manusia terdidik dan beragama atau tidak. Pesanan atau bagian dari skenario demi menggiring opini, atau bukan. Buzzer atau bukan. Pasalnya, rata-rata sudah tidak memakai nilai kesantunan. Tidak ada lagi etika, dan moral.
Begitu hebatnya rasa cinta dan rasa memiliki kepada tuan atau junjungannya itu, kepada lawan komentator pun, bahasa provokatif, kasar, mengejek, menghina, merendahkan, mengadu domba, memecah belah, dan sejenisnya, dijadikan andalan.
Dibiarkan oleh pemerintah?
Pertanyaan saya, khususnya medmas, mengapa justru tetap membuka kolom komentar yang sudah dapat diterka, akan membuat gaduh. Mirisnya, medmas yang justru terus menyajikan berita aktual terkait perkara dunia, terutama hal politik, adalah media mainstream (arus utama) di Indonesia.
Sementara ada medmas mainstream yang memang sejak awal tidak menyediakan kolom komentar. Karena tahu dampaknya hanyalah kemudaratan.
Tidak berbeda dengan medmas mainstream dan medmas yang mungkin "pesanan", di berbagai medsos, manusia-manusia yang begitu hebat rasa mencintai dan rasa memiliki tuan dan junjungannya, Â pun mengunggah atau menyiarkan konten yang tidak mendidik. Tujuannya memantik komentar yang pada ujungnya, kolom komentar pun akan dihujani komentar yang isi dan tujuannya tidak berbeda dengan komentar berita atau artikel di medmas.
Pertanyaannya, mengapa sampai detik ini, pemerintah tidak pernah menertibkan hal ini. Seolah malah menjadikan medmas dan medsos sebagai sarana mendidik, menanam, dan merawat manusia Indonesia agar berkarakter rendah etika dan moral?
Bukankah cara untuk menertibkan agar tidak melahirkan komentar dari para manusia pecinta dan perasa pemilik tuan dan junjungannya yang berkarakter rendah etika dan moral itu, mudah?
Atau jangan-jangan, justru inilah program andalan dalam bentuk pendidikan karakter budi pekerti merendahkan manusia yang memang sedang ditanam dan dirawat oleh para pemimpin di negeri ini? Mencintai dan merasa memiliki kepada sesama manusia yang didewakan, berbicara tidak sesuai hati nurani, demi kepentingan dan keuntungan mereka?
Menjadikan pikiran dan hati nurani rakyat yang cerdas dan bodoh, dan miskin hati. Merasa dibantu dari kemiskinan dan pendiritaan lahir dan batin oleh tuan dan junjungannya yang sama-sama manusia, tetapi  sesaat dan sesat. Padahal,  tuan dan junjungannya hanya menjadikan para manusia ini, "alat bantunya" untuk menggapai maksud dan tujuan kepentingan duniawinya.
Mencintai dan rasa memiliki
Berat untuk setiap manusia dapat memenuhi ciri sebagai wali Allah, meski sangat terbuka jalan untuk ke sana. Namun, meski berat dan tidak mustahil, minimal saya, kita, juga jangan sampai terjerumus menjadi musuh-musuhnya wali Allah, yang dalam mencintai dan merasa memiliki kepada Allah mau pun sesama manusia hanya sekadar drama. Bukan dari pikiran dan hati nurani yang bersih, ikhlas.
Pasalnya, selain contoh betapa polusinya komentar netizen di medmas dan medsos terkait mencintai dan merasa memiliki tuan dan junjungannya sampai menabrak nilai-nilai agama, etika, dan moral, dalam persoalan lain, juga sangat lazim, para manusia hanya berdrama saat mencintai dan merasa memiliki saat menjadi anggota dari kegiatan instansi, institusi, hingga kegiatan masyarakat dalam berbagai bidang.
Selain mencintai, sense of belonging, menjadi suatu kebutuhan dasar yang perlu dimiliki manusia, karena sense of belonging terkait dengan keadaan psikologis dan kesehatan mental, bahkan juga kesehatan fisik seseorang.
Sense of belonging merupakan sebuah perasaan yang terkait dengan rasa memiliki yang ada dalam diri seseorang. Perasaan memiliki ini mengacu pada perasaan dikenali, diterima, aman, nyaman, diperhatikan, dan juga didukung oleh orang lain atau suatu kelompok.
Menjadi satu di antara beberapa pondasi utama yang membentuk identitas diri seseorang dan juga mendorong seseorang untuk dapat termotivasi, agar dapat berpartisipasi dalam suatu kelompok tertentu.
Sense of belonging adalah kunci untuk mencapai tujuan institusi, instansi, dan berbagai kegiatan masyarakat di segala bidang, karena membentuk:
(1) Perilaku yang positif.
(2) Etos yang benar dan baik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Kata Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu (Tasmara, 2002).
(3) Citra dan loyalitas.
Arti citra adalah rupa, gambar, gambaran; gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat; atau data atau informasi.
Makna loyalitas adalah kepatuhan atau kesetiaan. Menurut Kamus Merriam Webster, loyalitas adalah kualitas, keadaan, atau contoh dari kesetiaan.
(4) Kebahagiaan dan kesejahteraan.
(5) Mengurangi berbagai risiko terkena gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan sosial, keputusasaan, kecemasan, depresi, hingga kesepian, dll.
Dari semua penjelasan yang saya urai, dalam bulan penuh berkah dan ampunan, inilah momentum bagi saya, kita, agar menjadi golongan manusia yang senantiasa mencintai dan merasa memiliki wali Allah dengan benar dan baik dalam hubungan habluminallah.
Dan menjadi golongan manusia yang mencintai dan merasa memiliki dalam habluminannas di segala perkara kehidupan dunia, yang bukan drama. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H