Bila semut memiliki akal, hati, beragama, dan terdidik seperti manusia, akankah semut masih gemar membahayakan dirinya tercebur dan mati bersama yang "manis", meski bukan miliknya. Mengapa manusia yang punya akal, hati, agama, dan terdidik, tetap ada yang gemar mencebur di tempat yang "manis", takut kehilangan yang bukan milik?
(Supartono JW.25032024)
Selama Ramadan ini, ada hal menarik yang selalu hadir di meja makan  setelah kita sekeluarga menikmati santap berbuka puasa. Yang menarik, selalu saja ada semut yang ikut giliran berbuka puasa mendekati, bahkan sudah tercebur masuk ke dalam wadah es buah atau minuman segar yang manis. Demi yang manis, tidak sedikit semut yang mati mengambang di air es buah atau minuman manis.
Andai saja semut memiliki akal dan pikiran, juga beragama, serta terdidik. Apakah masih akan ada semut-semut yang mati demi yang manis? Bahkan mati bersama yang manis, tapi membunuhnya. Dan, yang manis itu bukan milik semut. Kapan semut akan bertobat, sadar dan menyesali perbuatannya hingga tidak terulang mati sia-sia?
Bersyukur
Bersyukurlah bila Ramadan 1445 Hijriah, kita dapat termasuk golongan orang-orang yang bertobat, sadar dan menyesal akan perbuatan-perbuatan yang salah yang tidak benar di mata Allah, dan kita berniat untuk mengaku dosa kita dihadapan Allah dan tidak akan mengulanginya kembali.
Kita juga termasuk golongan orang-orang yang dapat menjalankan ibadah Ramadan dengan khusyuk, yaitu penuh penyerahan dan kebulatan hati, sungguh-sungguh, penuh kerendahan hati.
Sehingga menjadi orang yang lapang dada, menerima segala keadaan dengan senang hati. Menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri maupun orang lain dengan lebih ikhlas, yaitu bersih hati, tulus hati.
Dalam hal hubungan sesama manusia, ikhlas memberi pertolongan dengan ketulusan hati. Sebab, keikhlasan berarti sebuah kejujuran atau kerelaan.
Lapang dada dan ikhlas, dapat diartikan sebagai tidak ada dendam ataupun perasaan negatif lainnya yang tersisa di hati kepada siapa pun.
Selalu menjadi orang yang takut melanggar laranganNya, selalu merasa aman, karena Allah selalu mengawasi dan penjadi pengaman bagi orang-orang yang "takut".
Hal tersebut, sesuai dengan doa Ramadan hari ke-15, yang artinya:
"Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku di bulan ini ketaatan orang-orang yang khusyuk, dan lapangkanlah dadaku di bulan ini karena tobat orang-orang yang mencintai-Mu. Dengan perlindungan-Mu wahai Pengaman orang-orang yang takut."
Belajar dari semut
Agar diri kita menjadi orang yang bertobat, khusyuk, ikhlas, lapang dada, merasa selalu diawasi dan punya rasa takut akan perbuatan dosa, di hari ke-15 ibadah Ramadan ini, tidak ada salahnya, kita belajar dari semut. Mengapa?
Sepertinya, semut mustahil dapat berbuat seperti manusia, dapat bertobat, khusyuk, ikhlas, lapang dada, merasa selalu diawasi dan punya rasa takut akan perbuatan dosa.
Ada peribahasa, "di mana ada gula, di situ ada semut". Maknanya di mana saja ada sumber-sumber rezeki, maka selalu ada orang yang mendatanginya. Lahan rezeki akan mengundang siapapun, meski harus menempuh cara, rintangan, dan resiko yang tidak mudah. Semut pun demikian.
Berani menanggung resiko yang berat untuk memenuhi keinginannya menikmati gula/madu yang tidak diikhlaskan oleh pemiliknya. Hingga gula/madu sampai diamankan dengan pembatas air. Padahal selain gula/madu, banyak makanan lain yang lebih mudah diambil secara bebas tanpa harus susah-susah melintasi air pengaman.
Semut tetap nekat membahayakan dirinya, berenang melintasi air. Ada semut yang mati sebelum menikmati gula/madu, tenggelam di air. Banyak pula semut yang selamat dan berhasil mencapai gula/madu. Tetapi meski sampai, mati juga tercebur di dalam gula/madu.
Apa yang dilakukan oleh semut, dilakukan juga oleh manusia rakus. Faktanya, sudah menduduki posisi penting, menjadi pejabat, kalangan eksekutif, seperti wali kota, bupati, gubernur, menteri, sampai Presiden. Juga kedudukan di legislatif, menjadi anggota DPR atau DPRD. Duduk di lembaga yudikatif, seperti menjadi jaksa, hakim, mahkamah konstitusi, dan lain-lain. Tetap saja rela menceburkan diri di gula/madu kehidupan yang merugikan diri sendiri.
Untuk apa gaji dan tunjangan fantastis. Namun tetap "bunuh diri" seperti semut, tercebur dalam gula/madu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sampai sesuatu yang disebut TSM.
Bila semut mati bersama gula/madu karena tidak pernah belajar dari pengalaman. Sebab, hanya mengandalkan nalurinya. Manusia memiliki akal, hati, dan agama. Selain itu juga ada yang beruntung, sudah terdidik. Tetapi mengapa tetap saja yang berperilaku seperti semut?
Bahkan, sikap dan perbuatan manusia mendekati dan masuk dalam gula/madu yang bukan miliknya, dilakukan dengan lebih cerdas. Ada bekal pengalaman. Sehingga meski sudah berulang kali ada yang tertangkap, tetap saja diulang dan diulang lagi, pura-pura bodoh seperti semut.
Semoga saya termasuk golongan orang-orang yang perilaku dan perbuatannya tidak seperti semut yang gemar mendekati dan tercebur di dalam gula/madu yang bukan miliknya. Malah mati di tempat yang manis.
Semoga saya menjadi orang yang bertobat, khusyuk, ikhlas, lapang dada, merasa selalu diawasi dan punya rasa takut akan perbuatan yang dilarangNya. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H