Selalu menjadi orang yang takut melanggar laranganNya, selalu merasa aman, karena Allah selalu mengawasi dan penjadi pengaman bagi orang-orang yang "takut".
Hal tersebut, sesuai dengan doa Ramadan hari ke-15, yang artinya:
"Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku di bulan ini ketaatan orang-orang yang khusyuk, dan lapangkanlah dadaku di bulan ini karena tobat orang-orang yang mencintai-Mu. Dengan perlindungan-Mu wahai Pengaman orang-orang yang takut."
Belajar dari semut
Agar diri kita menjadi orang yang bertobat, khusyuk, ikhlas, lapang dada, merasa selalu diawasi dan punya rasa takut akan perbuatan dosa, di hari ke-15 ibadah Ramadan ini, tidak ada salahnya, kita belajar dari semut. Mengapa?
Sepertinya, semut mustahil dapat berbuat seperti manusia, dapat bertobat, khusyuk, ikhlas, lapang dada, merasa selalu diawasi dan punya rasa takut akan perbuatan dosa.
Ada peribahasa, "di mana ada gula, di situ ada semut". Maknanya di mana saja ada sumber-sumber rezeki, maka selalu ada orang yang mendatanginya. Lahan rezeki akan mengundang siapapun, meski harus menempuh cara, rintangan, dan resiko yang tidak mudah. Semut pun demikian.
Berani menanggung resiko yang berat untuk memenuhi keinginannya menikmati gula/madu yang tidak diikhlaskan oleh pemiliknya. Hingga gula/madu sampai diamankan dengan pembatas air. Padahal selain gula/madu, banyak makanan lain yang lebih mudah diambil secara bebas tanpa harus susah-susah melintasi air pengaman.
Semut tetap nekat membahayakan dirinya, berenang melintasi air. Ada semut yang mati sebelum menikmati gula/madu, tenggelam di air. Banyak pula semut yang selamat dan berhasil mencapai gula/madu. Tetapi meski sampai, mati juga tercebur di dalam gula/madu.
Apa yang dilakukan oleh semut, dilakukan juga oleh manusia rakus. Faktanya, sudah menduduki posisi penting, menjadi pejabat, kalangan eksekutif, seperti wali kota, bupati, gubernur, menteri, sampai Presiden. Juga kedudukan di legislatif, menjadi anggota DPR atau DPRD. Duduk di lembaga yudikatif, seperti menjadi jaksa, hakim, mahkamah konstitusi, dan lain-lain. Tetap saja rela menceburkan diri di gula/madu kehidupan yang merugikan diri sendiri.
Untuk apa gaji dan tunjangan fantastis. Namun tetap "bunuh diri" seperti semut, tercebur dalam gula/madu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sampai sesuatu yang disebut TSM.
Bila semut mati bersama gula/madu karena tidak pernah belajar dari pengalaman. Sebab, hanya mengandalkan nalurinya. Manusia memiliki akal, hati, dan agama. Selain itu juga ada yang beruntung, sudah terdidik. Tetapi mengapa tetap saja yang berperilaku seperti semut?