Bila pikiran kita mengatakan bisa, maka kita bisa. Bila pikiran kita mengatakan berani, maka kita berani. Bila pikiran kita positif, maka menghasilkan sesuatu yang positif. Bila pikiran kita negatif, bisa, dan berani melakukannya, maka hasilnya sesuatu yang negatif untuk dirinya dan orang lain, pihak lain.
(Supartono JW.19032024)
Kendati Ramadan 1445 Hijriah sudah memasuki hari ke-9 atau 8, masih dalam fase Rahmat, mengapa terkait dengan hal politik, kita malah sering disuguhi sandiwara orang-orang yang mencari kesempatan, kepentingan, dan keuntungan sendiri (baca: penjilat, juga pengkhianat)?
Di fase Rahmat ini, kurang 1 atau 2 hari lagi akan berakhir. Sama dengan menjelang pengumuman hasil demokrasi yang menjadi democrazy, tetapi mengapa "mereka" malah tambah lupa diri, nampak cengengesan pesta pora? Kontras dengan kondisi rakyat jelata.
Kontras dengan rakyat jelata
Hasil pesta demokrasi rakyat saja belum diumumkan, tetapi secara terbuka dan tidak malu disorot kamera, sudah meminta jatah menteri. Tidak ada rasa risih. Tidak ada empati dan simpati kepada rakyat jelata yang sedang tertimpa musibah banjir, tanah longsor, harga beras dan bahan pokok naik.
Peristiwa-peristiwa saling cari muka, menjilat, dan khianat itu, justru yang dominan ditayangkan di media televisi. Saling pikat dan tawar posisi dan kekuasaan. Ujungnya cuma satu, bagaimana mendapat tempat menjadi pihak yang menikmati bancakan uang rakyat.
Sekarang, sepertinya televisi sudah terbungkam, tidak ada lagi yang menayangkan kegelisahan rakyat seperti demontrasi rakyat bersuara untuk kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Yang ada justru gemar menampilan para nara sumber yang memakai topeng-topeng. Tidak beda dengan para politisi yang cari muka demi posisi dan kursi.
Demokrasi Indonesia sekarang, rasanya menjadi terburuk. Karena pemimpinnya sendiri menjadi manusia yang tidak berintegritas. Bahasa agamanya, munafik. Yang diucapkan apa, yang dilakukan apa.
Bahkan, di televisi, Selasa malam (18/3/2024) ada nara sumber yang menjawab pertanyaan pembawa acara begini:
"Kalau setelah jabatan selesai, bilang mau pulang ke Solo, itu artinya akan tetap di Jakarta. Tapi bila bilang setelah selesai jabatan akan tetap di Jakarta, itu artinya akan pulang ke solo."
Pernyataan nara sumber tersebut tentang karakter pemimpin kita sekarang ini, pun sangat diamini oleh sebagian rakyat yang katanya 42 persen. Tapi tentu disangkal dan malah sangat dipuja-puji oleh rakyat yang 58 persen.
Sidang HAM PBB, ada settingan?
Lebih miris, berbagai media memberitakan tentang kelakuan perwakilan Indonesia dalam Sidang Komite HAM PBB CCPR di Jenewa, Swiss pekan lalu, dikutip dari UN Web TV, Senin (18/3/2024).
Bacre Waly Ndiaye menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden tahun 2024. Ndiaye lantas mempertanyakan langkah apa yang diambil Indonesia untuk memastikan pejabat tinggi, termasuk Jokowi, tidak memberikan pengaruh atau intervensi yang berlebihan terhadap proses Pemilu. Ia pun bertanya apakah Indonesia sudah melakukan penyelidikan untuk mengusut dugaan-dugaan itu.
Saat diberikan kesempatan menjawab, Indonesia yang diwakili oleh Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan Ndiaye. Ia justru menjawab masalah Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya, seperti soal kasus aktivis Haris dan Fathia yang belum lama dinyatakan bebas hingga kasus Panji Gumilang.
Luar biasa memprihatinkan. Sepertinya perwakilan Kemenlu ini pun sudah disetting menjadi aktor TSM, hingga jawaban yang tidak nyambung, tetap dilakukan di depan peserta Sidang. Sangat tidak berintegritas. Sangat nampak bertopengnya.
Di +62 sendiri, saluran-saluran televisi, demi kepentingan dan keuntungan pribadi, juga terus dihadirkan nara sumber yang sudah tidak bersandiwara lagi. Sudah tidak pakai topeng lagi, apa dibalik penampilan dan tutur bicaranya.
Menyedihkan, makna integritas yang benar di negeri ini, sudah menjadi barang murah di tangan orang-orang yang hanya mencari keuntungan dan kepentingan pribadi, dinasti, dan oligarki.
Integritas?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integritas diartikan : mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Apakah dalam bulan Ramadan ini, pemimpin kita bergeser, berubah, menunjukan integritas yang benar dan baik? Atau sudah tidak nampak munafiknya?
Pasti, di mata dan hati rakyat yang skenarionya 58 persen, maka pemimpin kita ini nilai integritasnya 100 persen. Sangat berwibawa dan sangat jujur. Sebaliknya, di mata dan hati rakyat yang beritanya hanya 42 persen, pemimpin kita ini nilai wibawa dan kejujurannya bukan hanya 0 persen, malah minus sekian persen. Sebab, sudah tidak lagi punya etika dan moral.
Lihat, dalam Sidang PBB saja, perwakilan Kemenlu, demi jabatan dan kedudukan, rela mengorbankan diri berbuat memalukan di depan mata dunia, demi membela junjungannya.
Integritas hanya menjadi slogan.Sampai-sampai secara berjamaah, cara berpikir, berkata, berperilaku, dan bertindak jauh dari kebenaran dan kebaikan. Tidak lagi memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.
Sadari bahwa integritas itu diawali dengan berpikir bukan berkata. Berpikir melahirkan pengetahuan, pemahaman, nilai, keyakinan dan prinsip. Orang yang berkata tanpa memikirkan terlebih dahulu dapat mengakibatkan penyesalan dikemudian hari, menyakiti perasaan orang lain, dan bahkan dapat menimbulkan kebencian.
Socrates berkata: "Dengan pikiran, seseorang bisa menjadikan dunianya berbunga-bunga atau berduri-duri."
Dengan demikian, pikiran bisa membuat kita bisa, mampu, dan pikiran berani membuat kita berani. Seperti yang dikatakan Dr. Ibrahim Elfiky bahwa pikiran positif menghasilkan perbuatan dan hasil yang positif.
Integritas harus dimulai dengan berpikir positif. Setelah berpikir positif, mengucapkan kata-kata. Perkataan akan menunjukkan kualitas seseorang. Kata-kata adalah magis, karena dapat mempengaruhi seseorang dalam berpikir dan bertindak sesuai hati nurani, mengerakan dirinya untuk berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar.  Apa yang  dikatakan, harus tercermin dari perilaku dan tindakan yang benar dan baik dengan tetap memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.
Orang-orang yang berintegritas benar dan baik dapat disimpulkan sebagai orang-orang selalu: jujur, tulus, dan dapat dipercaya. Lalu, bertindak transparan dan konsisten. Menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal tercela. Bertanggung jawab atas  amanah dan hasilnya. Bersikap objektif. Karenanya akan nampak berwibawa. Bukan pencitraan, topeng. Tidak seperti musang berbulu domba. Tampil dengan muka dan lidah yang manis, tetapi di belakang, penjilat, menusuk.
Dari berbagai literasi, disebutkan bahwa penjilat bukanlah karakter yang dibuat-buat, akan tetapi seperti karakter dari keturunan yang sangat sulit disembuhkan. Sekarang sedang menjadi orkestra di negeri ini.
Memanfaatkan hubungan dengan pihak berkuasa untuk mencapai tujuan pribadi, politik, atau golongan, tanpa mempertimbangkan kepentingan umum. Kepentingan rakyat. Bancakan uang rakyat, tetapi rakyat tetap diupayakan bodoh agar mereka dapat suara 50+1 atau sekarang 58 persen. Tidak butuh suara rakyat yang 42 persen. Meski uang rakyat yang 42 persen dipakai bancakan juga.
Itulah cara mereka merawat politiknya, di tahun ini, bansos menjadi senjata ujung tombak merebut hati dan suara rakyat "yang mana?".
Yang pasti, kehadiran orang-orang yang bertopeng di balik integritas, berkroni dengan para penjilat, termasuk pengkhianat, sudah merusak demokrasi. Mendewakan atau merajakan pemimpin yang nampaknya sudah tidak memiliki integritas.
Yah, Indonesia terkini, benar seperti kata Socrates: "Dengan pikiran, seseorang bisa menjadikan dunianya berbunga-bunga atau berduri-duri." Ternyata, berkuasa itu mudah membuat dunia berbunga atau berduri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H