Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bila dalam Pemilu, Syarat Pemilih Memiliki: Surat Izin Memilih (SIM)

20 Februari 2024   00:39 Diperbarui: 20 Februari 2024   00:42 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Andai dalam Pemilu, meski Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensial, syarat rakyat yang memiliki hak pilih tidak sekadar minimal sudah berusia 17 tahun, tetapi mengantongi Surat Izin Memilih (SIM) dalam Pemilu melalui tes, sepertinya pemenang Pemilu akan mendapat suara dari pemilih yang obyektif, karena pemilih telah teruji lulus tes. Harapannya cerdas intelegensi dan personality.

(Supartono JW.19022024)

Mengendarai motor, mobil, dan lainnya, ada peraturannya. Pengendaranya wajib memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Menempuh pendidikan, juga berjenjang. Tidak bisa seorang anak langsung masuk SMP/SMA/bangku kuliah. Anak bersangkutan, minimal wajib sudah lulus SD (memiliki ijazah SD), dan seterusnya.

Mau bekerja, juga ada syaratnya. Ada tes dan ujiannya. Sudah bekerja, kena pajak penghasilan.  Mau naik alat transportasi umum, menonton pertunjukan dan lainnya, harus memiliki tiket (membayar). Memiliki ini dan itu ada pajaknya.

Artinya, hampir di semua hal dan persoalan kehidupan, ada syaratnya.

Pertanyaannya, mengapa pemimpin negeri/provinsi/kabupaten/kota, dengan sistem pemilihan langsung, model pemerintahan Presidensial, Presiden yang akan memimpin negara, justru dipilih oleh rakyat dengan syarat yang sangat mudah?

Minimal sudah berusia 17 tahun, maka setiap rakyat memiliki hak/suara untuk memilih presiden? Tidak peduli apakah si rakyat berpendidikan atau tidak. Miskin intelegensi dan miskin personality atau tidak.

Bahkan, rakyat kebanyakan malah hidup berkubang paket kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan. Sehingga, rakyat yang demikian adalah makanan empuk bagi yang memiliki kekuatan, kekuasaan, dan kepemimpinan?

Lebih miris, paket kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan yang merupakan peninggalan akal licik penjajah kolonialisme, justru diteruskan oleh penjajah baru, penjajah pribumi yang "takut kehilangan bukan milik." Mempertahankan dan melangengkan kekuasaan dengan politik dinasti dan oligarki.

Di sinilah sejatinya, satu di antara letak masalah benang kusut, mengapa setiap Pemilu ada kecurangan secara terstruktur, tersistem, dan masif. Sebab, rakyat yang tetap dibuat masih bodoh, miskin, dan menderita, adalah aset untuk mendulang suara bagi si penjajah pribumi itu.

Karenanya, sulit untuk dicari letak kecurangan dalam Pemilu, bila faktanya, rakyat yang masih bodoh, miskin, dan menderita, diberikan hak untuk ikut mencoblos.

Seandainya, syarat rakyat yang memiliki hak pilih dan hak dipilih dalam Pilpres, bukan sekadar minimal sudah berusia 17 tahun. Maka, benang kusut Pilpres, juga Pileg tidak akan selalu kusut dan bertambah kusut.

Semisal rakyat yang memiliki hak pilih dalam Pilpres, minimal sudah memiliki Surat Izin Memilih (SIM) dalam Pemilu melalui tes, atau berpendidikan sarjana, seperti syarat minimal menjadi guru PAUD. Lalu, syarat minimal Calon Legeslatif (Caleg) minimal Magister (S2), bukan sekadar figur publik atau artis.

Bila syarat ini diperhatikan, khususnya menyangkut hak pilih, maka rakyat jelata tidak akan selalu dijadikan obyek keuntungan pihak penjajah pribumi, penerus akal licik penjajah kolonialisme.

Seseorang yang telah mengantongi SIM C saja, belum tentu dapat menjadi pengemudi motor yang cakap/kompeten, karena cara mendapatkan SIM, juga masih bisa dengan cara "klasik". Jadi, SIM yang dimiliki dapat tidak mencerminkan seseorang tahu teori dan praktik berkendara yang benar dan baik.

Maka, bila seseorang diberikan hak memilih calon Presiden/Gubernur/Bupati/Wali Kota, syaratnya hanya sudah berusia minimal 17 tahun. Sudah tentu, belum cakap dalam pengetahuan politik, apalagi praktik politik, kepemimpinan, hingga kekuasaan.

Pemilu, rakyat bisa makan

Untuk hidup saja susah. Rakyat yang masih dibuat bodoh, miskin, dan menderita dalam arti sebenarnya, maka dalam kesehariaannya lekat dengan cara berpikir: "Hari ini bisa makan atau tidak?" Bukan, "Hari ini mau makan apa?" Hari ini mau makan di mana?" Hari ini mau makan siapa?"

Karenanya, momentum Pemilu bagi rakyat golongan ini adalah berkah. Akan ada bansos, akan ada uang kaget, dll. Yang semua itu bukan sekadar makan siang gratis. Ada imbalan yang diharapkan, yaitu suara untuk pihak yang telah berbaik hati, tapi di atas kelicikan.

Jadi, momentum Pemilu/Pileg, adalah berkah yang membuat mereka: "Alhamdulillah, untuk beberapa hari, kita bisa makan."

Hak memilih, kedaulatan rakyat

Memang, terkait hak memilih, maka sama dengan kedaulatan rakyat. Dikutip dari Bawaslu.go.id, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ada beberapa pasal yang mengatur tentang hak memilih.

Di pasal 198, undang-undang tersebut menyatakan:
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih.
3. Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih.
Berikutnya, di pasal 199 menyatakan:
"Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam Undang-Undang ini".

Selanjutnya, di pasal 200 juga mengamanatkan:
"Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih".

Untuk detail penyusunan daftar pemilih, KPU Menyusun daftar pemilih. Di undang-undang yang sama, ada pengaturannya, yakni di pasal 201 hingga 2018.

Akar masalah Pemilu curang

Dari penjelasan UU tersebut, saya pikir, di sinilah akar masalah mengapa setiap hajatan Pemilu di RI selalu menjadi ajang kecurangan.

Andai saja, UUnya tidak demikian, misalnya, dibuat peraturan hak memilih itu tidak asal sembarang rakyat dan syaratnya sangat mudah, yaitu minimal sudah berusia 17 tahun, maka sudah barang tentu, Pemilu tidak akan lagi menjadi ajang kecurangan pihak yang memiliki "kekuatan" berbagai-bagai.

Lihatlah, untuk memilih Ketua Umum PSSI Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota saja, setiap anggota PSSI hanya memiliki hak 1 suara (voter). 1 suara voter ini pun tidak sembarang suara. Sebelum 1 suara hak voter digunakan untuk memilih, pertimbangannya sudah sangat matang. Sudah tentu, keputusannya bukan didasari oleh minimal sudah 17 tahun. Tetapi sudah dengan berbagai "prasyarat".

Analogi ini, sama dengan bila Presiden/Gubernur/Bupati/Wali Kota, dipilih oleh Parlemen, bukan oleh rakyat. Namanya pun menjadi Sistem Pemerintahan Parlementer.

Sementara, sekarang Indonesia menganut Sistem Pemerintahan Presidensial. Presiden di pilih langsung oleh rakyat.

Permasalahannya, dari beberapa literasi, rakyat Indonesia yang memiliki hak memilih di Pemilu 2024, lebih dari 70 persen, adalah rakyat yang masih belum memiliki kecakapan/kompetensi untuk memilih dengan cerdas pikiran dan cerdas hati.

Sampai di sini, paham ya? Kita? Mengapa selalu ada Program Terstruktur, Tersistem, dan Masif? Karena sumber suara kemenangan memang sudah ada desainnya. Sudah ada polanya. Sudah ada petanya. Dan sudah ada sudah-sudah yang lainnya. Kecuali UU tentang Pemilu diubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun