Di pasal 198, undang-undang tersebut menyatakan:
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih.
3. Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih.
Berikutnya, di pasal 199 menyatakan:
"Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam Undang-Undang ini".
Selanjutnya, di pasal 200 juga mengamanatkan:
"Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih".
Untuk detail penyusunan daftar pemilih, KPU Menyusun daftar pemilih. Di undang-undang yang sama, ada pengaturannya, yakni di pasal 201 hingga 2018.
Akar masalah Pemilu curang
Dari penjelasan UU tersebut, saya pikir, di sinilah akar masalah mengapa setiap hajatan Pemilu di RI selalu menjadi ajang kecurangan.
Andai saja, UUnya tidak demikian, misalnya, dibuat peraturan hak memilih itu tidak asal sembarang rakyat dan syaratnya sangat mudah, yaitu minimal sudah berusia 17 tahun, maka sudah barang tentu, Pemilu tidak akan lagi menjadi ajang kecurangan pihak yang memiliki "kekuatan" berbagai-bagai.
Lihatlah, untuk memilih Ketua Umum PSSI Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota saja, setiap anggota PSSI hanya memiliki hak 1 suara (voter). 1 suara voter ini pun tidak sembarang suara. Sebelum 1 suara hak voter digunakan untuk memilih, pertimbangannya sudah sangat matang. Sudah tentu, keputusannya bukan didasari oleh minimal sudah 17 tahun. Tetapi sudah dengan berbagai "prasyarat".
Analogi ini, sama dengan bila Presiden/Gubernur/Bupati/Wali Kota, dipilih oleh Parlemen, bukan oleh rakyat. Namanya pun menjadi Sistem Pemerintahan Parlementer.
Sementara, sekarang Indonesia menganut Sistem Pemerintahan Presidensial. Presiden di pilih langsung oleh rakyat.
Permasalahannya, dari beberapa literasi, rakyat Indonesia yang memiliki hak memilih di Pemilu 2024, lebih dari 70 persen, adalah rakyat yang masih belum memiliki kecakapan/kompetensi untuk memilih dengan cerdas pikiran dan cerdas hati.
Sampai di sini, paham ya? Kita? Mengapa selalu ada Program Terstruktur, Tersistem, dan Masif? Karena sumber suara kemenangan memang sudah ada desainnya. Sudah ada polanya. Sudah ada petanya. Dan sudah ada sudah-sudah yang lainnya. Kecuali UU tentang Pemilu diubah.