Dalam berbagai literasi, orang-orang yang cerdas intelektual dan emosional, biasanya orang-orang yang "dekat" dengan sastra dan agama.
Maka, sangat paham tentang paket sebab/masalah, konflik, dan akibat sesuai ilmu sastra dan agama.
Sebaliknya, orang-orang yang licik, tidak tuntas atau malah sangat tuntas dalam memahami sastra, kuat dalam beragama, dan tahu bagaimana caranya bertobat. Karenanya tidak pernah takut dosa, meski berbuat licik.
Sastra bagi orang-orang licik adalah bagaimana membuat sebab/masalah yang menimbulkan konflik, tetapi sudah diperhitungkan akibat buruk dan negatifnya untuk siapa? Akibat baik dan positifnya tentu untuk menguntungkan dirinya/pihaknya/kelompoknya/golongannya/dinastinya/oligarkinya, dll.
Dengan demikian, orang-orang yang dekat dengan sastra selalu membaca, melihat, menonton, menulis, berbicara, dll melalui berbagai media dan sarana, diaplikasikan dalam perbuatannya di kehidupan nyata, ada yang semakin cerdas intelektual dan emosional, karena agamanya juga kuat. Perbuatannya untuk kemaslahatan diri dan umat.
Namun, dari berbagai pandangan, yang agamanya tidak kuat, maka kecerdasan intelektualnya tidak berkembang, kecerdasan emosionalnya bebal, kelicikan menjadi ujung tombak tingkah lakunya. Perbuatan mudarat menjadi pilihan untuk dirinya.
Sastra
Selama ini, di berbagai Kurikulum Pendidikan Indonesia, pelajaran sastra lazim disebut sebagai pelajaran tempelan. Lebih dari itu, banyak pengajar (guru/dosen) bahkan tidak menguasai materi tentang sastra. Padahal, hal terkait sastra (sebab/masalah, konflik, akibat), ada di semua bidang pelajaran/mata kuliah.
Masalahnya, jangankan guru/dosen bukan pengajar bahasa dan sastra, guru/dosen pengajar bahasa dan sastra saja masih terkendala dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Ini benang kusut yang belum pernah dapat diurai.
Padahal, seharusnya, semua guru/dosen itu=pengajar bahasa dan sastra. Pondasi pembelajaran semua bidang adalah bahasa (keterampilan mendengar, berbicara, membaca, menulis, + sastra), ini ada dan terjadi dalam semua bidang. Apakah selama ini disadari dan terus terjadi di Indonesia? Inilah bagian konfik yang tidak pernah tuntas digarap.
Akibatnya, tugas guru/dosen membuat manusia Indonesia menjadi terampil berbahasa dan sastra, terampil literasi, terus gagal.