Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saat Manusia "Dekat" dengan Sastra

26 Desember 2023   09:28 Diperbarui: 26 Desember 2023   09:42 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

"Dekat" dengan sastra yang benar dan baik, membuat manusia memiliki bekal untuk perbuatan rekreatif, estetis, moral, didaktif, dan religius bagi diri sendiri dan kehidupan nyata.(Supartono JW.26122023)

Hanya tinggal menghitung hari, tahun 2023 akan usai. Apa yang sudah saya, kita perbuat di sepanjang tahun 2023? Saya, kita dapat merefleksi diri sendiri. Pun dapat membantu merefeksi orang lain/pihak lain. 

Misalnya, menyimak atas semua tanggapan dan komentar rakyat Indonesia di semua lapisan, melalui berbagai media usai
Debat pertama, Calon Presiden (Capres) dan debat kedua, Calon Wakil Presiden (Cawapres), sementara dapat disimpulkan, di antara mereka sudah ada yang memenuhi syarat sebagai calon pemimpin bangsa yang cerdas intelektual dan cerdas emosional.

Sebaliknya ada yang masih belum cerdas intelektual dan belum cerdas emosional. Bahkan, khusus usai debat Cawapres, masyarakat menilai ada yang culas dan melakukan keculasan dalam debat.

Culas, keculasan

Culas itu, curang, tidak jujur,  tidak lurus hati. Keculasan adalah kecurangan, ketidakjujuran, kepalsuan. Hal ini sama dengan peristiwa sebelum KPU mengesahkan tiga pasangan Capres dan Cawapres.

Sebab keculasan ini dilakukan dengan licik dan kelicikan, maka meski masyarakat tahu ada yang licik dan melakukan kelicikan, tetap saja, yang melakukan bak anjng menggongong kafilah berlalu.

Licik itu, banyak akal yang buruk, pandai menipu, culas, curang, licin. Sementara kelicikan adalah kepandaian memutarbalikkan perkataan, kecurangan, keculasan.

Bila dalam kisah-kisah sastra, siapa yang berbuat licik dan kelicikan, di akhir cerita pasti akan kalah oleh pihak yang benar dan baik. Maka, dalam kisah nyata, kehidupan nyata, biasanya kelicikan sudah diskenariokan, ada sutradaranya, ada aktor-aktrisnya, maka mereka akan sangat kuat dan siap menghadapi perlawanan pihak yang benar dan baik.

Meski pada akhirnya, pada waktunya, yang licik dan melakukan kelicikan, akan jatuh sendiri, akan kalah sendiri akibat dari perbuatan licik dan kelicikannya.

Dekat dengan sastra

Dalam berbagai literasi, orang-orang yang cerdas intelektual dan emosional, biasanya orang-orang yang "dekat" dengan sastra dan agama.

Maka, sangat paham tentang paket sebab/masalah, konflik, dan akibat sesuai ilmu sastra dan agama.

Sebaliknya, orang-orang yang licik, tidak tuntas atau malah sangat tuntas dalam memahami sastra, kuat dalam beragama, dan tahu bagaimana caranya bertobat. Karenanya tidak pernah takut dosa, meski berbuat licik.

Sastra bagi orang-orang licik adalah bagaimana membuat sebab/masalah yang menimbulkan konflik, tetapi sudah diperhitungkan akibat buruk dan negatifnya untuk siapa? Akibat baik dan positifnya tentu untuk menguntungkan dirinya/pihaknya/kelompoknya/golongannya/dinastinya/oligarkinya, dll.

Dengan demikian, orang-orang yang dekat dengan sastra selalu membaca, melihat, menonton, menulis, berbicara, dll melalui berbagai media dan sarana, diaplikasikan dalam perbuatannya di kehidupan nyata, ada yang semakin cerdas intelektual dan emosional, karena agamanya juga kuat. Perbuatannya untuk kemaslahatan diri dan umat.

Namun, dari berbagai pandangan, yang agamanya tidak kuat, maka kecerdasan intelektualnya tidak berkembang, kecerdasan emosionalnya bebal, kelicikan menjadi ujung tombak tingkah lakunya. Perbuatan mudarat menjadi pilihan untuk dirinya.

Sastra

Selama ini, di berbagai Kurikulum Pendidikan Indonesia, pelajaran sastra lazim disebut sebagai pelajaran tempelan. Lebih dari itu, banyak pengajar (guru/dosen) bahkan tidak menguasai materi tentang sastra. Padahal, hal terkait sastra (sebab/masalah, konflik, akibat), ada di semua bidang pelajaran/mata kuliah.

Masalahnya, jangankan guru/dosen bukan pengajar bahasa dan sastra, guru/dosen pengajar bahasa dan sastra saja masih terkendala dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Ini benang kusut yang belum pernah dapat diurai.

Padahal, seharusnya, semua guru/dosen itu=pengajar bahasa dan sastra. Pondasi pembelajaran semua bidang adalah bahasa (keterampilan mendengar, berbicara, membaca, menulis, + sastra), ini ada dan terjadi dalam semua bidang. Apakah selama ini disadari dan terus terjadi di Indonesia? Inilah bagian konfik yang tidak pernah tuntas digarap.

Akibatnya, tugas guru/dosen membuat manusia Indonesia menjadi terampil berbahasa dan sastra, terampil literasi, terus gagal.

Karenanya, tampilan tiga Capres dan tiga Cawapres, dapat mencerminkan hasil pendidikan Indonesia, sekaligus pendidikan pribadi mereka selama di bangku sekolah/kuliah/kehidupan/pekerjaan nyatanya.

Ada yang sudah nampak bekal keterampilan berbahasa dan sastranya, ada yang jauh dari ekspetasi, bahkan memprihatinkan.

Fungsi sastra

Mari kembali memahami sastra. Sastra adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yaitu shaastra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman". Shaastra berasal dari kata dasar  shaas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti alat atau sarana. Singkatnya, sastra adalah alat atau sarana mengarahkan, mengajar, dan memberi petunjuk atau instruksi. Wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

Oleh karena itu, bagi kehidupan manusia, sastra memiliki fungsi
1). Rekreatif, yaitu untuk memberikan kesenangan atau hiburan bagi pembaca/penonton/apresiatornya.
2). Estetis, sastra mampu memberikan keindahan bagi pembaca/penonton/apresiatornya.
3). Moralitas, sastra juga memberikan pengetahuan terhadap pembaca/penonton/apresiatornya tentang moral benar atau salah,  baik atau pun buruk.
4). Didaktif, sastra dapat mengarahkan atau mendidik pembaca/penonton/apresiatornya dari nilai yang terkandung di dalamnya.
5). Religius, sastra menghadirkan karya yang di dalamnya mengandung unsur ajaran agama yang nantinya bisa diteladani oleh pembaca/penonton/apresiatornya.

Selain itu, fungsi sastra menurut Horace (seorang penyair Amerika), adalah dulce et utile yang berarti menyenangkan dan berguna. Menyenangkan dalam arti tidak membosankan, dan berguna dalam artian tidak membuang-buang waktu atau bukan sekadar perbuatan iseng.

Diri kita

Dari pemahaman sastra, yang mungkin tidak tuntas kita pelajari di bangku sekolah/kuliah, pun jarang kita dekat di dunia nyata, apakah selama ini saya sudah termasuk orang yang "dekat" dengan sastra?

Bila sudah dekat dengan sastra apakah karena sastra, saya sudah menjadi orang yang rekreatif, estetis, moralis, didaktif, dan religius karena sastra? Sehingga mampu dan selalu berusaha untuk berbuat dengan kecerdasan intelektual dan emosional baik untuk diri sendiri dan kepada orang lain/pihak lain?

Atau sebaliknya, karena sastra, saya menjadi orang yang tidak rekreatif, tidak estetis, tidak moralis, tidak didaktif, dan tidak religius. Menjadi orang yang licik karena lemah kecerdasan intelektual dan emosional?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun