Sejatinya, bila pendidikan, pelatihan, dan pembinaan sepak bola akar rumput di Indonesia masih tidak disentuh dengan benar oleh PSSI dapat dimahfumi. Pasalnya, pendidikan formal di Indonesia saja masih dapat disebut gagal. Padahal, dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang unggul, inovatif, berintegritas, dan berdaya saing menuju Indonesia Emas 2045, pemerintah akan mempersiapkan anggaran pendidikan sebesar Rp660,8 triliun atau 20 persen pada APBN 2024. Anggaran itu terbagi atas alokasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp237,3 triliun, Transfer ke Daerah Rp346,6 triliun, dan pembiayaan investasi Rp77,0 triliun. Anggaran pendidikan sebesar itu meningkat dibanding anggaran pendidikan tahun 2023 yang mencapai Rp612,2 triliun.
Hal tersebut diungkapkan oleh Presiden RI, Joko Widodo, saat memberi keterangan pemerintah atas Rancangan Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 2024 beserta Nota Keuangan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia di Gedung Nusantara, Rabu (16/8/2023).
Tetapi, harapan Presiden nampaknya masih bertepuk sebelah tangan, karena sesuai hasil penilaian Programme for International Student Assessment atau Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) tahun 2022 yang diumumkan pada Selasa (5/12/2023), faktanya hasil PISA Indonesia tetap belum sesuai harapan.
Bagaimana dengan wadah sepak bola akar rumput yang bahkan tidak pernah mendapat anggaran dari PSSI atau Pemerintah yang faktanya telah andil melahirkan pemain-pemain timnas yang membela nama bangsa dan negara?
Lahir akademi baru, untuk apa dan siapa?
Bicara pendidikan nasional yang masih belum berhasil meski anggarannya 20 persen sendiri dari APBN, di ranah sepak bola, yang juga terus menuai masalah, justru publik sepak bola nasional dikejutkan dengan hadirnya akademi sepak bola baru. Menyelenggarakan event nasional dengan cara sendiri pula. Bahkan, seolah, eventnya mengalahkan PSSI. Ini sebenarnya maksudnya apa?
Meski  begitu, nyatanya Ketua Umum PSSI pun hadir dalam pembukaan event dan memberikan beberapa pernyataan dalam sambutannya. Mengutip kata-kata Erick Thohir yang telah disiarkan oleh berbagai media tanah air dalam sambutan peresmian fasilitas Akademi Sepak bola Garudayaksa yang berlokasi di Kertarahayu, Setu, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (14/12/2023) di antaranya, saya kutip tiga pernyataan:
1) "Transformasi sepak bola Indonesia tidak mungkin jadi kalo bukan kerja sama semua stakeholder. Yang tidak kalah penting adalah dari stakeholder individu atau sektor privat."
2) "Saya mau hadir hari ini karena pak Prabowo bukan figur karbitan atau ada udang di balik batu. Tapi beliau sampaikan beliau cinta sepak bola. Bahkan saat sekolah ia adalah kapten tim. Artinya ada ketulusan untuk investasi di pembinaan sepak bola Indonesia."
3) "Pembangunan Training Center yang menurut saya termegah di Indonesia. Ini keseriusan kita mempersiapkan timnas muda berkelanjutan. Terimakasih pak Prabowo. Investasi bapak pasti ada manfaatnya untuk generasi muda sepak bola Indonesia."
Mengurai pernyataan Erick
Dari ketiga pernyataan tersebut, coba saya urai berdasarkan fakta yang ada, sebab, sekurangnya saya sangat paham atas kondisi yang terjadi terhadap sepak bola nasional, khususnya di ranah akar rumput.
Terkait pernyataan 1. "Transformasi sepak bola Indonesia tidak mungkin jadi kalo bukan kerja sama semua stakeholder. Yang tidak kalah penting adalah dari stakeholder individu atau sektor privat."
Selama ini Timnas Indonesia di berbagai kelompok umur pasti akan sulit terbentuk bila wadah sepak bola akar rumput tidak dilahirkan dan berdiri atas inisiatif serta dengan biaya sendiri oleh pendiri dan dukungan orangtua siswa/pemain baik secara  individu mau pun privat. Tetapi PSSI selalu menutup mata, telinga, dan hati atas kondisi ini. Bisanya hanya memanfaatkan kondisi dan situasi, ujungnya tinggal memetik buah pendidikan, pelatihan, dan pembinaan pemain di wadah sepak bola akar rumput.
Fakta teranyar adalah terbentuknya Timnas U-17 untuk Piala Dunia, dari mana para pemain Timnas U-17 itu dilahirkan? PSSI hanya bisa menyeleksi hasil dari upaya berdarah-darah para pegiat sepak bola akar rumput. Sudah begitu terus membiarkan wadah sepak bola akar rumput tidak bertuan. Tidak ada regulasi. Tidak ada standarisasi. Tidak ada akreditasi.
Ada inisiatif lahirnya kompetisi Elite Pro Academi (EPA), yang sejarah lahirnya pun saya sangat paham. Dari siapa yang mencetuskan ide. Lalu EPA dijalankan, tetapi tetap asal jalan. Namanya EPA, melibatkan semua Klub Liga 1. Tetapi apakah PSSI bisa membuka tabir, siapa saja sebenarnya Klub Liga 1 yang secara regulasi, secara standarisasi, dan secara akreditasi boleh dan lulus untuk mengikuti EPA?
Wadah sepak bola akar rumput pun sudah jatuh tertimpa tangga. Mendidik, melatih, dan membina pemain dengan pikiran, tenaga, serta biaya sendiri, siswa/pemain yang dilahirkan dan dibesarkan tinggal dipetik oleh Klub dengan regulasi rekayasa dari PSSI yang mensyaratkan siswa/pemain keluar dari wadah sepak bola akar rumput yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Setali tiga uang, mental mafia pun mengalir, beberapa Klub yang tidak mau repot, memakai cara licik dan instan dengan melibatkan pihak lain untuk membuka seleksi terbuka, mencari pemain untuk masuk dalam tim EPA dengan drama seleksi terbuka. Orangtua pemain/siswa yang miskin pikiran dan miskin hati pun sampai rela merogoh kocek sampai jutaan rupiah, demi anaknya dapat ikut seleksi dan masuk tim EPA Klub Liga 1, sebab diyakini oleh mereka, itu adalah salah satu cara untuk meniti ke jenjang timnas untuk anaknya.
Saya tidak habis pikir, Erick bicara transformasi, sebelumnya mendatangkan Timnas Argentina. Lalu, menerima Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17, kemudian menyadari tentang transformasi sepak bola, tetapi tetap mentutup mata, menutup telinga, dan menutup hati atas keberadaan wadah sepak bola akar rumput yang tidak beregulasi, tidak terstandarisasi, dan tidak terakreditasi. Di mana pemahaman transformasinya?
Bukankah yang dimaksud transformasi oleh Erick adalah tentang suatu perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya), sesuai makna KBBI? Atau jangan-jangan sesuai makna lain?
Lihatlah, betapa para penggiat sepak bola akar rumput di Indonesia, baik secara pribadi mau pun privat, sejak nama Sekolah Sepak Bola (SSB) digaungkan oleh Ronny Pattinasarany di zaman Ketua Umum PSSI Agum Gumelar, sudah bertransformasi, meski tidak pernah ada panduan resmi berupa aturan dari PSSI (regulasi, standarisasi, akreditasi). Tidak pernah ada bantuan anggaran secara khusus. Sampai detik ini tetap setia terus melakukan pendidikan, pelatihan, dan pembinaan. Ada yang sudah gugur, menghilang dari peredaran, tetapi meski begitu, pepatah gugur satu tumbuh seribu, tetap berlaku. Saya catat sejak tahun 1999, Indonesia tidak pernah kekurangan wadah sepak bola akar rumput. Wadah yang dipetik hasilnya oleh PSSI, tetapi dibiarkan bernafas sendiri.
Sepertinya, Erick tidak menganggap wadah sepak bola akar rumput bukan stakeholder, ya? Padahal stakeholder adalah pihak yang memiliki kepentingan (pemangku kepentingan) baik individu,atau kelompok masyarakat yang memiliki hubungan terhadap organisasi atau isu/permasalahan yang sedang diangkat. Sampai ini dulu, urian saya terkait pernyataan 1.
Berikutnya, sesuai pernyataan 2. "Saya mau hadir hari ini karena pak Prabowo bukan figur karbitan atau ada udang di balik batu. Tapi beliau sampaikan beliau cinta sepak bola. Bahkan saat sekolah ia adalah kapten tim. Artinya ada ketulusan untuk investasi di pembinaan sepak bola Indonesia."
Dari pernyataan kedua tersebut, menarik bagi saya ketika Erick menyebut kata-kata; "karbitan", "ada udang dibalik batu", "cinta sepak bola", "kapten tim di sekolah", "ketulusan", "investasi", "pembinaan sepak bola Indonesia". Sesuai kata-kata khusus tersebut yang melucur dari pembicaraan Erick, sangat mudah untuk coba saya urai ke dalaman maknanya, tetapi maaf. Untuk pernyataan kedua itu, biarlah masyarakat yang menilai sendiri.
Yang pasti, mengapa ada kata-kata "karbitan", yang arahnya macam-macam seperti instan. Ada kata-kata "ada udang di balik batu" yang arahnya bisa tentang kepentingan, sebab bertepatan dengan tahun politik. Lalu, ada "investasi" yang tentu arahnya kepada bisnis. Dapat diterka ke mana arahnya. Sudah begitu, sampai saat ini, wadah sepak bola akar rumput juga tidak memiliki induk. Tetapi tiba-tiba ada yang muncul secara pribadi. PSSI pun sepertinya tidak dilibatkan. Jadi, ke mana arahnya?
Untuk pernyataan 3. "Pembangunan Training Center yang menurut saya termegah di Indonesia. Ini keseriusan kita mempersiapkan timnas muda berkelanjutan. Terimakasih pak Prabowo. Investasi bapak pasti ada manfaatnya untuk generasi muda sepak bola Indonesia."
Maaf, apa benar Training Center yang menurut Erick termegah di Indonesia ini bukan untuk Akademi Sepak Bola? Bila benar untuk akademi, nanti para mahasiswanya mau berkompetisi dengan siapa? Cara merekrut mahasiswanya bagaimana? Berbayar atau beasiswa? Apa comot-comot atau menarik siswa dari wadah sepak bola akar rumput yang sudah ada?
Maaf, ukuran termegah itu dari sisi bangunan dan fasilitas, ya Pak Erick. Apa Pak Erick sudah mengeluarkan panduan tentang regulasi, standarisasi, dan akreditasi khusus tentang akademi sepak bola di Indonesia? Sebab dapat menyimpulkan termegah? Di akar rumput, menjamur SSB, Akademi, Diklat sepak bola. Adakah yang didirikan berdasarkan regulasi, standarisasi dan akreditasi dari PSSI?
Pahami SSB, Akademi, Diklat, dong!
SSB adalah sekolah non formal. Yang formal, paling tinggi sampai jenjang SMA/SMK. Peserta didiknya lazim dipanggil murid atau siswa.
Berikutnya, Akademi adalah suatu institusi pendidikan tinggi, penelitian, atau keanggotaan kehormatan. Nama ini berasal dari sekolah filsafat Plato yang didirikan pada sekitar tahun 385 SM di Akademia, sebuah tempat suci Athena, dewi kebijaksanaan dan kemampuan, di sebelah utara Athena, Yunani. Peserta didiknya bukan lagi murid atau siswa, tetapi mahasiswa.
Sementara Diklat adalah kepanjangan dari "pendidikan" dan "pelatihan". Definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sementara, pelatihan berasal dari kata "latih" yang berarti olah, pelajaran untuk membiasakan atau memperoleh suatu kecakapan. Dengan begitu, untuk Diklat ini, pesertanya didiknya bisa murid atau siswa, bisa mahasiswa, dan juga bisa orang dewasa.
Bukankah selama ini menyoal SSB, Akademi, dan Diklat yang namanya dipakai oleh pegiat sepak bola akar rumput sebagai nama wadah, seharusnya dipahami oleh PSSI dan masyarakat? Namun, faktanya, sepertinya banyak yang tidak memahami, bukan?
Lucu-lucuan yang dibiarkan
Lucu tidak sih? Peserta didiknya masih berusia sesuai ukuran sekolah formal SD, SMP, dan SMA/SMK, nama wadahnya di depannya dipakai Akademi? Kalau nama depannya memakai Diklat, masih logis.
Kelucuan selanjutnya apa? Dalam event atau kompetisi, antara SSB, Akademi, dan Diklat yang secara akademis dan ilmiah, akan berbeda kelompok umur dan kurikulum pendidikannya, tetapi ada dalam satu kompetisi. Bahkan yang Akademi dan Diklat pun dalam praktiknya banyak yang hanya mencomot peserta didik dari SSB.
Dan, kira-kira, Akademi baru yang fasilitasnya di sebut termegah di Indonesia ini, apakah peserta didiknya akan bernama murid/siswa atau mahasiswa? Lalu, akan berkompetisi di mana?
Bila ada aturannya (regulasi, standarisasi, dan akreditasi) menyoal wadah sepak bola akar rumput di Indonesia ini, masyarakat tidak akan gagal paham dengan keberadaan SSB, Akademi, dan Diklat sepak bola. Karena, sesuai regulasi, standarisasi, dan akreditasi, keberadaan SSB, Akademi, dan Diklat sudah pasti berbeda. Berbeda peserta didiknya, kurikulum pendidikannya, kompetisinya, sarana dan prasarananya, dan hal-hal terkait lainnya.
Sampai kapan, kelucuan keberadaan wadah sepak bola akar rumput Indonesia hingga kompetisinya akan terus dibiarkan oleh PSSI dan Pemerintah?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI