Bukankah selama ini menyoal SSB, Akademi, dan Diklat yang namanya dipakai oleh pegiat sepak bola akar rumput sebagai nama wadah, seharusnya dipahami oleh PSSI dan masyarakat? Namun, faktanya, sepertinya banyak yang tidak memahami, bukan?
Lucu-lucuan yang dibiarkan
Lucu tidak sih? Peserta didiknya masih berusia sesuai ukuran sekolah formal SD, SMP, dan SMA/SMK, nama wadahnya di depannya dipakai Akademi? Kalau nama depannya memakai Diklat, masih logis.
Kelucuan selanjutnya apa? Dalam event atau kompetisi, antara SSB, Akademi, dan Diklat yang secara akademis dan ilmiah, akan berbeda kelompok umur dan kurikulum pendidikannya, tetapi ada dalam satu kompetisi. Bahkan yang Akademi dan Diklat pun dalam praktiknya banyak yang hanya mencomot peserta didik dari SSB.
Dan, kira-kira, Akademi baru yang fasilitasnya di sebut termegah di Indonesia ini, apakah peserta didiknya akan bernama murid/siswa atau mahasiswa? Lalu, akan berkompetisi di mana?
Bila ada aturannya (regulasi, standarisasi, dan akreditasi) menyoal wadah sepak bola akar rumput di Indonesia ini, masyarakat tidak akan gagal paham dengan keberadaan SSB, Akademi, dan Diklat sepak bola. Karena, sesuai regulasi, standarisasi, dan akreditasi, keberadaan SSB, Akademi, dan Diklat sudah pasti berbeda. Berbeda peserta didiknya, kurikulum pendidikannya, kompetisinya, sarana dan prasarananya, dan hal-hal terkait lainnya.
Sampai kapan, kelucuan keberadaan wadah sepak bola akar rumput Indonesia hingga kompetisinya akan terus dibiarkan oleh PSSI dan Pemerintah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H