Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lucu-Lucuan Nama Wadah Sepak Bola Akar Rumput +62 yang Dibiarkan

15 Desember 2023   21:57 Diperbarui: 15 Desember 2023   22:40 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Mengurai pernyataan Erick

Dari ketiga pernyataan tersebut, coba saya urai berdasarkan fakta yang ada, sebab, sekurangnya saya sangat paham atas kondisi yang terjadi terhadap sepak bola nasional, khususnya di ranah akar rumput.

Terkait pernyataan 1. "Transformasi sepak bola Indonesia tidak mungkin jadi kalo bukan kerja sama semua stakeholder. Yang tidak kalah penting adalah dari stakeholder individu atau sektor privat."

Selama ini Timnas Indonesia di berbagai kelompok umur pasti akan sulit terbentuk bila wadah sepak bola akar rumput tidak dilahirkan dan berdiri atas inisiatif serta dengan biaya sendiri oleh pendiri dan dukungan orangtua siswa/pemain baik secara  individu mau pun privat. Tetapi PSSI selalu menutup mata, telinga, dan hati atas kondisi ini. Bisanya hanya memanfaatkan kondisi dan situasi, ujungnya tinggal memetik buah pendidikan, pelatihan, dan pembinaan pemain di wadah sepak bola akar rumput.

Fakta teranyar adalah terbentuknya Timnas U-17 untuk Piala Dunia, dari mana para pemain Timnas U-17 itu dilahirkan? PSSI hanya bisa menyeleksi hasil dari upaya berdarah-darah para pegiat sepak bola akar rumput. Sudah begitu terus membiarkan wadah sepak bola akar rumput tidak bertuan. Tidak ada regulasi. Tidak ada standarisasi. Tidak ada akreditasi.

Ada inisiatif lahirnya kompetisi Elite Pro Academi (EPA), yang sejarah lahirnya pun saya sangat paham. Dari siapa yang mencetuskan ide. Lalu EPA dijalankan, tetapi tetap asal jalan. Namanya EPA, melibatkan semua Klub Liga 1. Tetapi apakah PSSI bisa membuka tabir, siapa saja sebenarnya Klub Liga 1 yang secara regulasi, secara standarisasi, dan secara akreditasi boleh dan lulus untuk mengikuti EPA?

Wadah sepak bola akar rumput pun sudah jatuh tertimpa tangga. Mendidik, melatih, dan membina pemain dengan pikiran, tenaga, serta biaya sendiri, siswa/pemain yang dilahirkan dan dibesarkan tinggal dipetik oleh Klub dengan regulasi rekayasa dari PSSI yang mensyaratkan siswa/pemain keluar dari wadah sepak bola akar rumput yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Setali tiga uang, mental mafia pun mengalir, beberapa Klub yang tidak mau repot, memakai cara licik dan instan dengan melibatkan pihak lain untuk membuka seleksi terbuka, mencari pemain untuk masuk dalam tim EPA dengan drama seleksi terbuka. Orangtua pemain/siswa yang miskin pikiran dan miskin hati pun sampai rela merogoh kocek sampai jutaan rupiah, demi anaknya dapat ikut seleksi dan masuk tim EPA Klub Liga 1, sebab diyakini oleh mereka, itu adalah salah satu cara untuk meniti ke jenjang timnas untuk anaknya.

Saya tidak habis pikir, Erick bicara transformasi, sebelumnya mendatangkan Timnas Argentina. Lalu, menerima Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17, kemudian menyadari tentang transformasi sepak bola, tetapi tetap mentutup mata, menutup telinga, dan menutup hati atas keberadaan wadah sepak bola akar rumput yang tidak beregulasi, tidak terstandarisasi, dan tidak terakreditasi. Di mana pemahaman transformasinya?

Bukankah yang dimaksud transformasi oleh Erick adalah tentang suatu perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya), sesuai makna KBBI? Atau jangan-jangan sesuai makna lain?

Lihatlah, betapa para penggiat sepak bola akar rumput di Indonesia, baik secara pribadi mau pun privat, sejak nama Sekolah Sepak Bola (SSB) digaungkan oleh Ronny Pattinasarany di zaman Ketua Umum PSSI Agum Gumelar, sudah bertransformasi, meski tidak pernah ada panduan resmi berupa aturan dari PSSI (regulasi, standarisasi, akreditasi). Tidak pernah ada bantuan anggaran secara khusus. Sampai detik ini tetap setia terus melakukan pendidikan, pelatihan, dan pembinaan. Ada yang sudah gugur, menghilang dari peredaran, tetapi meski begitu, pepatah gugur satu tumbuh seribu, tetap berlaku. Saya catat sejak tahun 1999, Indonesia tidak pernah kekurangan wadah sepak bola akar rumput. Wadah yang dipetik hasilnya oleh PSSI, tetapi dibiarkan bernafas sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun