Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menanti Aturan SBB dari PSSI, Sejak Lahir SSB Sukmajaya Konsisten Kekeluargaan

14 Desember 2023   13:53 Diperbarui: 14 Desember 2023   14:42 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Sudah ribuan siswa dan orangtua, tercatat menjadi bagian dari Keluarga Besar SSB Sukmajaya.Mereka menjadi bagian keluarga dengan cara yang sederhana. Cukup mengisi formulir pendaftaran, membayar biaya administrasi dan pembelian jersey latihan, maka sudah resmi menjadi bagian dari keluarga SSB Sukmajaya.

Tanpa ada seleksi Teknik, Intelegensi, Personality, dan Speed (TIPS) yang menjadi Kurikulum Pendidikan, Pelatihan, dan Pembinaan di SSB Sukmajaya. Setiap siswa yang sudah menjadi bagian dari keluarga SSB Sukmajaya, memiliki hak yang sama dalam kesertaan menjadi bagian Tim SSB Sukmajaya yang diterjunkan di semua jenis event dan Kompetisi.

Pertanyaannya, menuju 26 tahun Kekeluargaan SSB Sukmajaya berproses untuk sepak bola akar rumput Indonesia, sudah ada siswa yang direkrut ke Timnas oleh PSSI, masih akan berapa tahun lagi PSSI membuat regulasi, standarisasi, dan akreditasi wadah sepak bola akar rumput Indonesia?

Bercermin pada Timnas U-17

Lihatlah, akibat tidak pernah memikirkan dan melahirkan regulasi, standarisasi, dan akreditasi wadah sepak bola akar rumput, bagaimana PSSI menyiapkan Timnas Indonesia U-17? Drama persiapan Timnas sepak bola Indonesia, menuju Piala Dunia U-17 sungguh memiriskan hati. Sampai ada seleksi pemain seperti ajang pemilihan artis dangdut di layar kaca. Sibuk mencari pemain diaspora dan lainnya ke manca negara.

Ujungnya, Bima Sakti tetap mengedepankan anak-anak Indonesia yang telah ditempa di wadah sepak bola akar rumput Indonesia, yang belum pernah dihargai oleh PSSI. Usai Piala Dunia U-17, saya pun belum melihat pergerakan dan tanda-tanda PSSI akan membuat regulasi, standarisasi, dan akreditasi.

Narasi-narasi yang terus dibangun malah tentang FIFA yang akan banyak memberikan  kesempatan kepada Indonesia menjadi tempat penyelenggaraan sepak bola dunia, hasil dari suksesnya menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17. Bukan sukses pada pendidikan, pelatihan, dan pembinaan sepak bola akar rumput yang wadahnya sesuai dengan regulasi, standarisasi, dan akreditasi.

Karena kondisi yang seperti pungguk merindukan bulan, sekali lagi, SSB Sukmajaya akan terus bertahan dengan tajuk Kekeluargaan SSB Sukmajaya, sepanjang PSSI tidak pernah melahirkan regulasi, standarisasi, dan akreditasi terhadap wadah sepak bola akar rumput.

Untuk Indonesia, lihatlah akibat yang terus terjadi, wadah-wadah sepak bola akar rumput terus dengan mudah lahir, menjamur. Begitu pun, banyak yang dengan mudah tumbang. Yang pengelolanya masih banyak uang atau ada dukungan, tentu dapat bertahan. Sebaliknya, yang uangnya sudah habis, tidak juga mendapat dukungan, tentu wadah itu tinggal nama.

Malah yang masih banyak uang, sekarang dalam ikut event atau kompetisi, tidak perlu wadahnya mendidik, melatih, dan membina, tapi tinggal comot dari wadah lain. Tentunya ada iming-imingnya. Para orangtua juga sama, tinggal cari enaknya. Seperti dalam kompetisi elite Pro Academy (EPA) Liga 1 yang digagas PSSI. Bisa dihitung klub Liga 1 yang melakukan pendidikan, pelatihan, dan pembinaan pemain untuk EPA. Selebihnya malah ada yang menjual namanya, pemain diisi oleh pihak lain. Siswa SSB pun jadi sasaran seleksi terbuka klub. Ada regulasi jahat yang dibuat PSSI. Pemain yang terpilih seleksi terbuka atau direkrut klub dengan gratisan, justru wajib meminta Surat Keluar dari SSB yang telah mendidik, melatih, dan membina.

Setali tiga uang, para orangtua yang lemah dalam pendidikan formal mau pun sepak bola, miskin pikiran dan miskin hati, sekadar merasa anaknya kompeten (hanya berbakat), lalu bergerilya mencari wadah yang gratis atau beasiswa. Pindah dari wadah satu ke wadah lainnya dengan seenaknya. Tidak pakai etika dan tata krama. Menjadikan anaknya pemain bola aka rumput dengan seribu bendera. Menyedihkan. Sampai kapan? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun