Berikutnya, ada pertanyaan: Mengapa seseorang memutuskan sampai memilih berbuat bohong dan berbohong?
Dari berbagai literasi, di antara jawabannya adalah karena upaya untuk menyelamatkan diri, citra, nama baik, atau karena ada faktor tekanan dari luar dirinya.
Dapat pula dipastikan, anak-anak maupun orang dewasa termotivasi untuk bohong dan berbohong karena alasan yang sama, hanya isinya yang berbeda.
Dikutip dari The Truth About Lying (2022), Profesor Victoria Talwar dari Departemen Psikologi Pendidikan dan Konseling, Univeristas McGill, menyebut bahwa secara umum kebohongan terjadi karena alasan dari mementingkan diri sendiri hingga altruistik.
Talwar mengelompokkan kebohongan dalam beberapa kategori, antara lain:
1) Kebohongan untuk menghindari dampak buruk/hukuman.
2) Kebohongan untuk kepentingan pribadi.
3) Kebohongan untuk merawat citra.
4) Kebohongan untuk bersikap sopan.
5) Kebohongan untuk membantu orang lain atau kelompok.
6) Kebohongan altruistik.
Altruistik adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali telah memberikan suatu kebaikan (Sears dalam Pujiyanti, 2009).
Hati-hati
Kecenderungan pada orang-orang yang terbiasa bohong dan berbohong, akan terus bohong dan berbohong. Menganggap bohong dan berbohong menjadi perbuatan wajar, bukan perbuatan dosa.
Bohong dan berbohong juga sebagai buntut atau akibat untuk menutup tindakan bohong dan berbohong sebelumnya.
Lihatlah koruptor! Awalnya korupsi kecil-kecilan. Karena tidak ketahuan, menjadi biasa dan terbudaya. Lama-lama, menjadi candu dan terbiasa mewajarkan tindakan dirinya sendiri untuk berbuat bohong dan berbohong.
Lihatlah para politikus! Apakah yang mereka lakukan di antaranya tidak terselip kebohongan dan kebohongan demi mendapatkan simpati rakyat?