Akhirnya, sesuai arahan sahabat wartawan itu, saya menulis apa yang saya sampaikan dalam diskusi. Saya kirim ke redaksi Tabloid GO, melalui mesin  fax (zaman itu). Ternyata hanya dalam hitungan hari, artikel perdana saya di Tabloid GO, tayang.
Berikut saya cuplikkan artikel perdana saya, menyoal SSB di Tabloid GO yang tayang pada Selasa (10/8/1999), dengan judul:
"Memantapkan Kedudukan SSB"
MATAHARI Kids Soccer Tournament '99 sukses. Diskusi antarpembina dan pelatih SSB (Sekolah Sepak bola) se-Jabotabek melahirkan rumusan-rumusan jitu pentingnya kehadiran SSB.
Â
SSB telah ada dalam PPSN (Pola Pembinaan Sepak Bola Nasional) hasil kongres PSSI 1983. Tinggal strata mana yang jadi rujukan. Menurut  Nugraha Besoes, SSB membina strata U-10, U-12, dan U-14.
Â
Kini, berbagai kegiatan mengenai pembinaan SSB terus bergulir. Tapi, yang paling menggairahkan adalah rencana Ronny Pattinasarani mempertemukan tim 4 Besar dari empat wilayah di Indonesia: Jabotabek, Jatim, Jateng, dan Jabar.
Â
Semua kegiatan SSB itu harus terus dipublikasikan sehingga tercipta opini yang kuat pada PSSI, pengurus, pembina sepak bola, dan masyarakat bahwa SSB adalah wadah pengaderan pemain untuk kebutuhan tim nasional senior yang memiliki akar, visi, dan tujuan yang sama sesuai program PSSI.
Â
Untuk memantapkan gerak dan fungsi SSB, mengingat belum seragamnya pola pembinaan dan struktur organisasinya, ada beberapa hal yang harus lekas dibenahi.
Pertama, asosiasi SSB beserta program yang telah dirumuskan Ronny dan kawan-kawan harus disahkan dalam kongres PSSI mendatang. Setelah sah, karena berbentuk sekolah, pengurus hariannya sekurangnya terdiri atas pelindung, pembina/penasihat, kepala sekolah, wakil bidang kesiswaan/kepelatihan, kurukulum, administrasi/kesekretariatan, dan bendahara. Pengurus lainnya merupakan pengembangan dari pengurus harian.
Â
Kemudian, program pendidikan dan pelatihan siswanya harus mengacu pada kurikulum baku yang nantinya disusun oleh tim (PSSI, pembina/pelatih yunior, Depdikbud, dan Dinas Olahraga). Berikutnya, diadakan kursus pendidikan dan kepelatihan sepak bola yunior yang standar berdasarakan kurikulum yang ada. Pelatih tak hanya mendidik anak terampil bermain bola, tapi juga cakap dalam membimbing mental/psikologis (bekal pedagogis) siswa.
Â
Ada baiknya kita menengok program SSB Ajax Belanda yang menerapkan TIPS (teknik, intelegensi, kepribadian, dan kecepatan).
Â
Walau dari bidang pemasalan dan pembibitan PSSI ada buku tuntunan SSB yang mengacu pada FIFA, ada baiknya pula jika meramu buku panduan lain sesuai dengan kurikulum yang benar-benar mengadaptasi kultur dan budaya sepak bola Indonesia masa kini dan mendatang.
Â
Berikutnya tinggal menetapkan SSB organisasi formal/nonformal? Ini penting, karena setelah menjalani pendidikan di SSB, siswa harus mendapat  pengakuan dalam bentuk tertulis (sertifikat). Pengakuan ini dapat dipakai siswa untuk pengembangan dirinya di masyarakat kelak.
Adalah mustahil semua siswa SSB yang ribuan jumlahnya terpilih di timnas. Karena, tak semua alumnus SSB memenuhi standar pemain nasional.
Kedua, PSSI dan asosiasi SSB harus merancang program kompetisi berjenjang sesuai PPSN. Kompetisi ini harus selaras dengan kompetisi di atasnya hingga ke tim senior. Yang terjadi kini, kompetisi remaja, taruna, junior, macet.
Â
Solusinya? Kongres PSSI mendatang harus mencermati masalah itu.
Â
Dua langkah SSB itu, semoga menjadi alternatif dalam memperjelas fungsi, kedudukan, pola pembinaan, dan arah tujuan SSB. Lewat pembinaan yang terarah dan terporgram, kita berharap di masa depan muncul pemain-pemain nasional yang berbobot dan cerdas bermain bola. Semoga.
Terus menulis
Sejak artikel perdana menyoal sepak bola itu, akhirnya saya menjadi kolumnis di Tabloid GO sampai dianugerahi titel, pengamat sepak bola nasional. Namun sedih, Tabloid GO tutup.
Pada akhirnya, saya menyambung menjadi kolumnis di Harian TopSkor, sampai Harian TopSkor, tutup pula.
Jumlah artikel yang saya tulis, sekurangnya dapat diterbitkan dalam 10 buku.