Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menikmati SSB yang Diabaikan

7 September 2023   22:43 Diperbarui: 7 September 2023   23:28 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


24 tahun yang lalu, saya sudah bicara dalam diskusi  pembina/pelatih yang digagas PSSI, SSB itu harus jelas fungsi dan kedudukannya di ranah PSSI karena pondasi. Tapi sampai sekarang, maunya hanya menikmati?

Drs. Supartono, M.Pd. / Supartono JW.07092023
Pengamat pendidikan Nasional dan sosial
Pengamat sepak bola nasional

Aktif mengkritisi sepak bola nasional sejak tahun 1999. Itu pun karena setengah dipaksa oleh sahabat (wartawan Tabloid GO), sebab dalam diskusi para pembina/pelatih saat Matahari Kid's Soccer Tournament (MKST) Juli 1999, di Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brojonegoro (GMSB) Kuningan , Jakarta, saya banyak memberikan masukan dan saran untuk sepak bola akar rumput Indonesia kepada PSSI.

MKST adalah turnamen resmi pertama dan terakhir yang digagas oleh Ronny Pattinasarany sebagai Direktur Usia Muda PSSI, di bawah kepemimpinan Ketua Umum PSSI, Agum Gumelar. Disponsori oleh Matahari Tbk, dengan media partner tunggal Tabloid GO, salah satu Tabloid olah raga terbesar di Indonesia.

Andai tidak ada Ronny

Andai saja tidak ada almarhum Ronny, bisa jadi, nama SSB belum.digaungkan secara resmi di Indonesia. Pasalnya, hingga saat ini pun, fungsi, kedudukan, hingga pembinaan, dan kompetisi resmi menggunakan bendera SSB di ranah PSSI belum pernah ada. Bahkan regulasinya pun tidak pernah ada.

Tapi keberadaan SSB yang dibiayai oleh para orangtua siswa di Indonesia, malah dijadikan sapi perah oleh pihak yang sama sekali tidak menanam. Tetapi maunya memetik. Malah dijadikan kendaraan untuk kepentingan pribadi dan golongannya.

Bahkan Ketua Umum PSSI yang baru, saya lihat juga hanya sekadar basa-basi menyinggung sepak bola akar rumput. Tetapi sejak awal menjabat, sampai sekarang, yang diurus melulu sepak bola senior (tua) yang sepertinya memang hanya untuk "kendaraan" kepentingan dan terus digoreng secara instan.

Saat itu, usai diskusi sebagai bagian dari kegiatan MKST, wartawan Tabloid GO, meminta saya menulis apa yang saya sampaikan dalam diakusi. Lalu mengirimkan ke redaksi Tabloid GO.

Jujur, sebagai kolumnis pendidikan dan sastra di beberapa media cetak/majalah  Ibu Kota yang sudah menjadi langganan saya menulis, sebab saya aktif menjadi kolumnis sejak 1989, agak aneh bila tiba-tiba saya harus rangkap jabatan, menulis tentang sepak bola.

Tetapi, setelah saya pikir, apa salahnya, saya menulis tentang sepak bola. Toh, saya juga sebagai pemilik SSB, pembina dan pelatih SSB, pernah menjadi pemain sepak bola. Ada sedikit ilmu tentang sepak bola.

Akhirnya, sesuai arahan sahabat wartawan itu, saya menulis apa yang saya sampaikan dalam diskusi. Saya kirim ke redaksi Tabloid GO, melalui mesin  fax (zaman itu). Ternyata hanya dalam hitungan hari, artikel perdana saya di Tabloid GO, tayang.

Berikut saya cuplikkan artikel perdana saya, menyoal SSB di Tabloid GO yang tayang pada Selasa (10/8/1999), dengan judul:

"Memantapkan Kedudukan SSB"

MATAHARI Kids Soccer Tournament '99 sukses. Diskusi antarpembina dan pelatih SSB (Sekolah Sepak bola) se-Jabotabek melahirkan rumusan-rumusan jitu pentingnya kehadiran SSB.
 
SSB telah ada dalam PPSN (Pola Pembinaan Sepak Bola Nasional) hasil kongres PSSI 1983. Tinggal strata mana yang jadi rujukan. Menurut  Nugraha Besoes, SSB membina strata U-10, U-12, dan U-14.
 
Kini, berbagai kegiatan mengenai pembinaan SSB terus bergulir. Tapi, yang paling menggairahkan adalah rencana Ronny Pattinasarani mempertemukan tim 4 Besar dari empat wilayah di Indonesia: Jabotabek, Jatim, Jateng, dan Jabar.
 
Semua kegiatan SSB itu harus terus dipublikasikan sehingga tercipta opini yang kuat pada PSSI, pengurus, pembina sepak bola, dan masyarakat bahwa SSB adalah wadah pengaderan pemain untuk kebutuhan tim nasional senior yang memiliki akar, visi, dan tujuan yang sama sesuai program PSSI.
 
Untuk memantapkan gerak dan fungsi SSB, mengingat belum seragamnya pola pembinaan dan struktur organisasinya, ada beberapa hal yang harus lekas dibenahi.

Pertama, asosiasi SSB beserta program yang telah dirumuskan Ronny dan kawan-kawan harus disahkan dalam kongres PSSI mendatang. Setelah sah, karena berbentuk sekolah, pengurus hariannya sekurangnya terdiri atas pelindung, pembina/penasihat, kepala sekolah, wakil bidang kesiswaan/kepelatihan, kurukulum, administrasi/kesekretariatan, dan bendahara. Pengurus lainnya merupakan pengembangan dari pengurus harian.
 
Kemudian, program pendidikan dan pelatihan siswanya harus mengacu pada kurikulum baku yang nantinya disusun oleh tim (PSSI, pembina/pelatih yunior, Depdikbud, dan Dinas Olahraga). Berikutnya, diadakan kursus pendidikan dan kepelatihan sepak bola yunior yang standar berdasarakan kurikulum yang ada. Pelatih tak hanya mendidik anak terampil bermain bola, tapi juga cakap dalam membimbing mental/psikologis (bekal pedagogis) siswa.
 
Ada baiknya kita menengok program SSB Ajax Belanda yang menerapkan TIPS (teknik, intelegensi, kepribadian, dan kecepatan).
 
Walau dari bidang pemasalan dan pembibitan PSSI ada buku tuntunan SSB yang mengacu pada FIFA, ada baiknya pula jika meramu buku panduan lain sesuai dengan kurikulum yang benar-benar mengadaptasi kultur dan budaya sepak bola Indonesia masa kini dan mendatang.
 
Berikutnya tinggal menetapkan SSB organisasi formal/nonformal? Ini penting, karena setelah menjalani pendidikan di SSB, siswa harus mendapat  pengakuan dalam bentuk tertulis (sertifikat). Pengakuan ini dapat dipakai siswa untuk pengembangan dirinya di masyarakat kelak.

Adalah mustahil semua siswa SSB yang ribuan jumlahnya terpilih di timnas. Karena, tak semua alumnus SSB memenuhi standar pemain nasional.

Kedua, PSSI dan asosiasi SSB harus merancang program kompetisi berjenjang sesuai PPSN. Kompetisi ini harus selaras dengan kompetisi di atasnya hingga ke tim senior. Yang terjadi kini, kompetisi remaja, taruna, junior, macet.
 
Solusinya? Kongres PSSI mendatang harus mencermati masalah itu.
 
Dua langkah SSB itu, semoga menjadi alternatif dalam memperjelas fungsi, kedudukan, pola pembinaan, dan arah tujuan SSB. Lewat pembinaan yang terarah dan terporgram, kita berharap di masa depan muncul pemain-pemain nasional yang berbobot dan cerdas bermain bola. Semoga.

Terus menulis

Sejak artikel perdana menyoal sepak bola itu, akhirnya saya menjadi kolumnis di Tabloid GO sampai dianugerahi titel, pengamat sepak bola nasional. Namun sedih, Tabloid GO tutup.

Pada akhirnya, saya menyambung menjadi kolumnis di Harian TopSkor, sampai Harian TopSkor, tutup pula.

Jumlah artikel yang saya tulis, sekurangnya dapat diterbitkan dalam 10 buku.

Kembali ke artikel perdana di Tabloid GO, bila saya hitung, kurang lebih sudah 24 tahun saya menulis "Memantapkan Kedudukan SSB".

Pertanyaannya, apakah selama 24 tahun itu kedudukan SSB mantap? Jawabnya, jangankan mantap, SSB diurus serius saja tidak pernah. Regulasi tentang SSB yang menggariskan fungsi dan kedudukan SSB pun tidak pernah dilahirkan oleh PSSI.

Bahkan, sudah 4 (empat) surat terbuka saya tulis untuk Erick Thohir, satu pun tidak ada yang ditanggapi.

Apa saya kecewa? Tidak! Saya sudah kebal dengan pengurus PSSI macam itu.

Apa saya berhenti mengurus sepak bola dan sepak bola akar rumput? Tidak! Masa hanya karena PSSI.yang sepertinya buta dan tuli, saya harus kalah dalam membantu masyarakat yang mencintai sepak bola, hobi sepak bola.

Sebagai.pengingat

Yang pasti, dengan derap PSSI yang kini sibuk atau memang mencari kesibukan dengan Piala Dunia U-17 dan lainnya, entah karena ada tujuan lain, selain menyoal sepak bola, 24 tahun yang lalu saya sudah menulis tentang SSB.

Tidak apa, artikel yang saya tulis, belum pernah menyentuh pikiran dan hati PSSI. Terpenting, lahirnya artikel itu, di antaranya adalah sebagai pengingat waktu tentang pertama kalinya nama Sekolah Sepak Bola (SSB) digaungkan secara resmi di Indonesia oleh PSSI dan ditandai dengan lahirnya turnamen SSB resmi pertama di Indonesia yang langsung dihelat oleh PSSI Pusat.

Buntut dari event ini, saya mengusulkan keberadaan SSB wajib di mantapkan kedudukannya. SSB wajib terafiliasi dan terorganisasi kebaradaannya di PSSI Pusat, Asosiasi Provinsi (Asprov), Asosiasi Kabupaten (Askab), hingga Asosiasi Kota (Askot).

Fungsi, tugas, dan kedudukan SSB jelas di peta pembinaan dan regenarisi sepak bola nasional, sebab dia menjadi pondasi terbentuknya timnas Indonesia yang handal.

Sekali lagi saya bertanya, kepada PSSI. Apakah sejak opini yang saya tulis terbit 24 tahun yang lalu, sudah ada perubahan dan sudah mantap kedudukan SSB di peta sepak bola nasional yang terus menjamur? Bagaimana kondisi SSB sekarang? Inilah opini perdana yang tayang di media massa tentang masalah kedudukan SSB yang terus diabaikan dan menjadi benang kusut. Seperti bau kentut di ruang berAC.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun