memetik pelajaran hingga tetap terperosok di lubang yang sama.
Hanya keledai, yang tidakDrs Supartono, M.Pd. /Supartono JW
Pengamat pendidikan nasional dan sosial
Pengamat sepak bola nasional
Banyak catatan yang sudah saya tulis sejak Shin Tae-yong (STy) memanggil pemain untuk bergabung dengan Timnas Indonesia U-23 untuk Piala AFF 2023.
Namun, semua catatan itu akhirnya sekadar saya simpan saja. Hingga Timnas Indonesia U-23 berlaga di partai final dan kalah adu pinalti.
Sekarang, rangkuman catatan yang sudah saya buat, saya jadikan satu, di artikel ini.Â
Klasik, bau kentut di ruang berAC
Jujur atas apa yang menimpa Garuda U-23 ini, catatan saya yang pertama, saya sedih, prihatin, sekaligus tertawa geli. Sedih dan prihatin karena sejak STy memanggil pemain, kemudian terjadi berbagai persoalan klasik yang seperti bau kentut di ruang berAC, namun faktanya PSSI sebagai federasi resmi sepak bola di negeri ini seperti kerbau dicucuk hidungnya.Â
Mau bersikap tegas kepada klub dan pemain, karena pemain yang dibutuhkan tidak diizinkan memenuhi panggilan Timnas, tetapi Piala AFF bukan agenda FIFA. Tidak berbuat tegas kepada klub dan pemain yang tidak diizinkan, PSSI pun dianggap menjadi organisasi yang tidak bertaji.
Kisruh klasik menyoal pemanggilan pemain yang ditolak pelatih dan klub untuk Timnas yang agendanya bukan kejuaraan FIFA, memang terjadi di seluruh penjuru dunia. Namun, khusus Timnas Indonesia, yang sangat membutuhkan hadirnya prestasi, meski sekadar di Asia Tenggara, di Piala AFF, seharusnya, seorang pemain yang dibutuhkan Timnas, tidak bisa ditawar, apalagi dihalangi untuk bergabung dengan Timnas. Membela bangsa dan negara Indonesia.
Bila pelatih asing yang hanya bekerja dengan kontrak profesional, tetapi tidak memiliki militansi dan rasa memiliki Indonesia, maunya menahan pemain karena kejuaraan yang diikuti Timnas bukan kalender FIFA, maka seharusnya pihak Klublah yang wajib lebih berkuasa.Â
Pelatih bekerja untuk klub. Klub berkompetisi di bawah bendera PSSI. Maka, PSSI punya hak dan kewajiban menindak tegas klub yang seolah menutup mata atas pelatih yang dikontraknya melarang pemain Indonesia bermain untuk Timnas.Â
Klub, pelatih, dan pemain cari makan di Indonesia, tetapi menolak atau melarang pemain bergabung dengan Timnas Indonesia. Dengan begitu, gampangnya, larang mereka cari makan di Indonesia. Inilah yang membuat saya tertawa geli.Â
Tertawa geli saya, dasarnya karena sedih, prihatin, melihat manusia-manusia yang sok profesional, tapi tidak memiliki militansi terhadap Republik ini.Â
Biasanya, orang-orang yang profesional dan tahu aturan, dengan pondasi cetdas intelegensi dan personality. Kaya pikiran dan kaya hati, akan sangat menghargai dan membela sepenuh jiwa dan raganya untuk kepentingan bangsa dan negara. Tetapi, dalam kasus Timnas Indonesia U-23 ini, yang seperti aroma bau kentut di ruang berAC, mereka yang menjadi sumber dan biang masalah, hanya segelintir orang-orang yang sok profesional. Sok tahu aturan, tapi tidak sadar diri sedang mencari makan di mana.
Piala AFF tetap gengsi negara
Wahai orang-orang yang sok profesional dan sok tahu aturan. Tetapi tidak ada rasa militansi, rasa memiliki, dan mau mengabdi untuk bangsa dan negara, pahami bahwa Piala AFF tetap sebuah gengsi bagi negara-negara Asia Tenggara. Lihat, bagaimana peta prestasi Timnas Indonesia di dalamnya. Selalu hanya ada di bawah bayang-bayang Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Lihat, meski mampu menekuk Thailand, tetapi sebelumnya dipecundangi Malaysia. Dan, akhirnya disingkirkan Vietnam.
Apa pun alasannya, karena Timnas Indonesia U-23 tidak turun dengan materi terbaik yang sudah lebih siap dan dapat diandalkan.
Namun, karena ulah orang-orang yang sok profesional dan sok tahu aturan, tetapi tidak punya militansi, rasa memiliki, maka STy dan pasukan Garuda pelapis, harus belajar dulu dalam ajang Piala AFF.
Di laga fase grup pertama versus Malaysia harus menerima kekalahan dari Malaysia yang sejatinya tidak lebih bagus dari Pasukan dadakan yang dibesut STy.Â
Di laga fase grup kedua, juga harus belajar lagi, meski yang dihadapi hanya tim sekelas Timor Leste. Bahkan hanya mampu menang sebiji gol.
Baru, di laga ketiga, fase gugur/semi final, STy menemukan komposisi terbaik dari hasil dua kali belajar vs Malaysia dan Timor Leste.
Tidak tanggung-tanggung, pasukan Timnas Indonesia U-23 yang sebagian diisi pemain pelapis, mampu membayar kepercayaan STy, bahkan menggasak tuan rumah dengan skor telak 1-3.Â
Hingga pada akhirnya, meski pun mampu tampil di final, dengan jumlah pemain terbatas serta komposisi pemain pelapis, Garuda Muda tetap takluk dari Vietnam yang lebih siap di Piala AFF kali ini. Sekaligus mempertahankan gelar juara.
Tidak bisa dibohongi, tampil dengan sebagian pemain pelapis yang masih kurang berpengalaman, secara statistik permainan di waktu normal mau pun waktu tambahan, pasukan STy yang seadanya ini, kalah dalam segala hal. Lihatlah statistik yang dirilis oleh panitia AFF selepas laga.Â
1. Tembakan: Vietnam (21) dan Indonesia (19)
2. Tembakan ke arah gawang: (7) dan (4)
3. Pengusaan bola: (55%) dan (45%)
4. Operan: (484) dan (412)
5. Akurasi operan: (75%) dan (73%)
6. Pelanggaran: (14) dan (23)
7. Kartu kuning: (3) dan (5)
8. Offside: (1) dan (4)
9. Tendangan sudut: (7) dan (6)
Lihatlah, Garuda Muda dengan sebagian besar pemain pelapis yang kurang pengalaman, hanya mampu unggul di sektor pelanggaran yang lebih banyak. Unggul jumlah kartu kuning. Serta unggul dalam hal offside. Bila pun ada 1 offside yang dianggap tidak offside, Vietnam tetap lebih cerdas dalam hal offside.
Statistik itu adalah fakta bahwa pasukan apa adanya yang diasuh STy, tetaplah tim yang sejatinya belum siap untuk menjadi juara.Â
Piala AFF tetap harga diri, kasihan STy
Atas kondisi yang menimpa STy saat ditugaskan mengemban amanah mengampu Timnas Indonesia U-23, jujur saya kasihan. STy harus menanggung kegagalan lagi, di saat stok pemain muda melimpah. Tetapi, STy tidak berdaya para pemain utama ke dalam gerbongnya.
Meski begitu, STy tetaplah pelatih yang berhasil. Sebab dengan kondisi yang ada, tetap mampu membawa Garuda Muda ke partai puncak. Kalah pun via adu pinalti.
Untuk orang-orang yang sok profesional dan sok tahu aturan, tapi tidak punya militansi dan rasa memiliki, hingga membuat STy menderita, camkan hal berikut ini!
Sampai detik ini, Timnas Indonesia di semua kelompok umur, selalu ada di bawah bayang-bayang nama besar Timnas Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Bahkan, ada slogan yang sudah mendarah daging bagi publik sepak bola nasional, Timnas kalah dari Thailand atau Vietnam, tidak apa atau biasa saja. Tetapi bila kalah dari Timnas Malaysia, itu sangat memalukan.
Ternyata, setelah sebelumnya pasukan Indonesia U-16 asuhan Bima Sakti disikat Malaysia, kasus berulang. Di bawah asuhan STy, Timnas Indonesia U-23 pun ikutan di sikat Malaysia.
Bedanya, pasukan Bima Sakti saat disikat  Malaysia dalam posisi dihuni oleh pemain-pemain yang dianggap sudah terbaik di tanah air. Sementara pasukan STy, di Timnas U-23, hanya dihuni oleh sebagian besar pemain pelapis/pengganti. Bukan pemain utama.
Dari kasus Timnas Indonesia U-23, saya berharap, dikemudian hari, tidak akan terulang lagi dialami oleh Timnas Indonesia di kelompok umur mana pun. Pemain yang dibutuhkan ditolak oleh pelatih/klub yang sedang berkompetisi di Indonesia.
Jangan kondisi ini menjadi seperti aroma kentut di ruang berAC. PSSI wajib memiliki aturan tegas demi Timnas tampil dengan pemain terbaik yang dimiliki Indonesia, di level kejuaraan apa pun, tanpa membedakan apakah event berkalender FIFA atau bukan.
Bila PSSI sudah memutuskan sebuah Timnas mengikuti sebuah event, jangan ada lagi kasus masalah klasik dan aroma kentut di ruang berAC lagi.Â
Timnas=pemain utama
Sebab prestasi sepak bola nasional masih sulit dan langka, jangankan meraih prestasi untuk tingkat Dunia dan Asia. Di Asia Tenggara saja, selalu sulit melewati Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Bahkan, meladeni Timnas paling muda, baru, seperti Timor Leste saja sudah mulai tidak mudah.
Jadi, saat mengikuti event apa pun, mau kelas AFF atau AFC atau FIFA, kursi timnas, memang wajib diisi oleh para pemain terbaik. Jersey Timnas sepak bola Indonesia, harus dikenakan oleh pemain yang memang benar-benar layak dan memenuhi standar Timnas. Bukan dikenakan oleh pemain titipan, pemain yang sekadar coba-coba dll.
Ingat juga. Bahwa kegagalan meraih juara, catatan sejarah hanya akan menggores
Timnas U-23 Indonesia gagal meraih trofi Piala AFF U-23 2023 setelah ditaklukan Vietnam lewat babak adu penalti dengan skor 5-6 di Rayong Province Stadium, Thailand, Sabtu malam, 26 Agustus.Â
Tidak akan mencatat, Indonesia kalah karena hanya menurunkan sebagian pemain pelapis atau pengganti karena pemain yang dianggap utama tidak dapat berpartisipasi karena alasan yang hingga kini tetap menjadi perdebatan dan keprihatian publik sepak bola nasional.
Berikutnya, untuk kiprah Timnas di semua kelompok umur berikutnya, jangan memaksakan diri ikut event bila ada kendala seperti di Timnas Indonesia U-23.
Terakhir, petiklah pelajaran dari Piala AFF U-23 untuk Persiapan Kualifikasi Piala AFC U-23 2024.Â
Walau pun dengan segala kekurangan di Piala AFF U-23, STy mampu menyulap tim yang apa adanya mampu berbicara di Piala AFF sebab para pemain mampu berproses dan dapat berkembang sejalan event berlangsung.
Dari Piala AFF, tentu STy mendapat pelajaran berharga dan akan mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk kualifikasi Piala AFC U-23 2024.
Timnas U-23 Indonesia tergabung dalam grup K bersama Taiwan dan Turkmenistan di kualifikasi Piala AFC U-23 2024. Laga perdana bakal berlangsung di Stadion Manahan, Solo pada Sabtu, 9 September 2023.
Bagaimana dengan Timnas Indonesia U-17 di tangan Bima Sakti? Semoga Bima Sakti, minimal dapat membawa Garuda U-17 tidak dipermalukan di rumah sendiri. Menjadi lumbung gol tim lain. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H