Jadi, momentum Idul Fitri, sejatinya sangat signifikan bagi saya, kita, untuk saling membuktikan bahwa saya, kita, mereka, adalah manusia-manusia yang sama-sama masih ingat, karena tetap ada jalinan komunikasi.
Bila ternyata, saya, kita, sudah tidak melakukan komunikasi lagi, meski sekadar via medsos, artinya, saya, kita, memang sudah melupakan mereka. Bisa jadi, menganggap mereka pun juga sudah tidak ingat pada kita. Karena sama-sama sudah tidak melakukan permohonan maaf dan mengucapkan Idul Fitri secara jaringan pribadi (japri).
Bila ini yang terjadi, tetaplah melangkah sebagai makhluk individu, berbudaya, dan sosial yang benar dan baik. Pun sebagai makhluk beragama, wajib ingat dan menjaga 5 perkara sebelum datang 5 perkara.
Terakhir, semoga, saya, kita, juga jangan sampai termasuk golongan orang yang lupa kacang akan kulitnya. Sebab, di zaman ini, bahkan di sekeliling kita, di lingkungan terdekat kita, di kekeluargaan kita, di persahabatan kita, pertemanan kita, orang-orang yang belum selesai dengan dirinya, karena miskin pikiran dan miskin hati, akan mudah sekali lupa siapa dirinya, siapa saya, siapa kita. Lalu lupa, mengapa dirinya dapat menjadi seperti itu atau seperti sekarang, seperti mendapat kedudukan atau kekayaan (harta).
Tidak ingat saat "miskin"
Dari beberapa literasi dan fakta kehidupan, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang sudah terbudaya hidup mapan (sandang, pangan, papan), plus kemewahan dunia karena dasar ajaran agama yang kuat, ada kekayaan harta dari keluarga secara turun temurun, cenderung menjadi "manusia yang ingat" karena kuat mental dan psikologis.
Terus ingat dan menjaga menjadi manusia sebagai makhluk individu, beragama, berbudaya, dan sosial, karena selalu selesai dengan dirinya sendiri. Cerdas pikiran, akal, otak, dan cerdas hati, kaya hati.
Berbeda dengan orang-orang yang awalnya miskin harta. Sesuai proses dan fase kehidupan, biasanya, saat mereka menjadi Orang Kaya Baru (OKB), dapat dipastikan, kebanyakan akan menjadi "manusia yang lupa". Lupa saat miskinnya (pikiran dan hati) sebab pondasi agama dan pendidikan budi pekerti di dalam keluarga pun, ikutan miskin. Makanya, hidupnya egois, individulis. Sulit untuk tahu diri dan rendah hati.
"Manusia yang ingat" senantiasa kaya pikiran dan kaya hati. Sadar dan selalu dapat menempatkan diri menjadi manusia sebagai makhluk individu, beragama, berbudaya, dan sosial, sebab cerdas intelegensi, personality, dan iman, sehingga tahu diri dan rendah hati.
Semoga, saya, kita, adalah golongan "manusia yang ingat". Selalu belajar dengan merefleksi diri, instrospeksi diri, dijauhkan dari sikap sombong, sikap individualis, egois. Terus memperbaiki diri menjadi "manusia yang ingat." Â Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H