"Manusia yang ingat" senantiasa kaya pikiran dan kaya hati. Sadar dan selalu dapat menempatkan diri menjadi manusia sebagai makhluk individu, beragama, berbudaya, dan sosial, sebab cerdas intelegensi, personality, dan iman, sehingga tahu diri dan rendah hati.
(Supartono JW.28042023)
Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna ingat di antaranya adalah berada dalam pikiran, tidak lupa, timbul kembali dalam pikiran, sadar, siuman, menaruh perhatian; memikirkan akan, hati-hati, berwaswas, mempertimbangkan (memikirkan nasib dan sebagainya), berniat, hendak.
Di antara beberapa makna tersebut, yang lazim dipakai oleh masyarakat tentang ingat adalah tidak lupa (kacang akan kulitnya). Sebab, diksi ingat lebih banyak diasosiasikan dengan perilaku manusia yang santun, berbudi pekerti luhur, tahu diri, peduli, rendah hati, sehingga seseorang tahu bagaimana caranya membalas budi, tahu bagaimana cara berterima kasih.
Karenanya manusia yang ingat akan asal-usulnya, awal mula latar belakang kehidupannya, siapa yang berpengaruh dalam proses kehidupan di dunia hingga berhasil atau malah gagal. Ingat saat miskin harta kemudian kaya harta. Ingat saat kaya harta, kemudian jadi miskin. Ingat saat masih bodoh, kemudian menjadi pintar. Ingat mengapa tidak lagi pintar. Ingat siapa orang yang pernah membantu dan menolong dalam kehidupannya. Ingat siapa yang membantu mengantarnya hingga memiliki kedudukan dan jabatan. Dan, ingat-ingat yang lainnya.
Pastinya, "manusia yang ingat" tentu akan selalu berupaya menjadi makhluk individu, beragama, berbudaya, dan sosial yang benar dan baik. Sebab senantiasa menggunakan akal dan hati yang sehat. Kaya pikiran dan kaya hati. Sudah selesai dengan dirinya sendiri, maka selalu ingat siapa yang telah dan pernah menjadi bagian hidupnya, baik dalam senang dan susah. Karena sebagai makhluk individu, berbudaya, dan sosial, hidup tidak bisa sendiri.
5 perkara
Sementara, sebagai mahkluk beragama, akan selalu ingat sekaligus menjaga 5 perkara sebelum datang 5 perkara, yaitu ingat dan jaga:
[1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu.
Di antara maksudnya adalah, lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.
[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu.
Maksudnya, salah satunya, beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.
[3] Masa kayamu sebelum datang masa miskin/kefakiranmu.
Dapat diartikan sebagai, manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.
[4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu.
Dapat dipahami, bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.
[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.
Dapat dimaknai, lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.
Momen Idul Fitri
Menyoal manusia yang ingat ini, bagi saya, kita, momentum Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah, tentu dapat menjadi tolok ukur. Siapa orang-orang yang sampai detik ini masih saya, kita, ingat atas segala jasanya, pengaruhnya, bantuannya, kebaikannya, pertolongannya, kekeluargaannya, pertemanannya, persahabatannya, dan lainnya.
Sebagai bukti saya, kita, mengingat "mereka", satu di antaranya, saya, kita, menyampaikan ucapan mohon maaf lahir batin, plus mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri kepada yang kita ingat, meski sekadar melalui media sosial (medsos) atau bahkan saya, kita, datang ke tempat/rumah/lokasi mereka tinggal.
Sebaliknya, orang lain, yang masih ingat kepada saya, kita, juga akan menyampaikan hal yang sama, baik melalui media sosial mau pun pertemuan tatap muka langsung.
Jadi, momentum Idul Fitri, sejatinya sangat signifikan bagi saya, kita, untuk saling membuktikan bahwa saya, kita, mereka, adalah manusia-manusia yang sama-sama masih ingat, karena tetap ada jalinan komunikasi.
Bila ternyata, saya, kita, sudah tidak melakukan komunikasi lagi, meski sekadar via medsos, artinya, saya, kita, memang sudah melupakan mereka. Bisa jadi, menganggap mereka pun juga sudah tidak ingat pada kita. Karena sama-sama sudah tidak melakukan permohonan maaf dan mengucapkan Idul Fitri secara jaringan pribadi (japri).
Bila ini yang terjadi, tetaplah melangkah sebagai makhluk individu, berbudaya, dan sosial yang benar dan baik. Pun sebagai makhluk beragama, wajib ingat dan menjaga 5 perkara sebelum datang 5 perkara.
Terakhir, semoga, saya, kita, juga jangan sampai termasuk golongan orang yang lupa kacang akan kulitnya. Sebab, di zaman ini, bahkan di sekeliling kita, di lingkungan terdekat kita, di kekeluargaan kita, di persahabatan kita, pertemanan kita, orang-orang yang belum selesai dengan dirinya, karena miskin pikiran dan miskin hati, akan mudah sekali lupa siapa dirinya, siapa saya, siapa kita. Lalu lupa, mengapa dirinya dapat menjadi seperti itu atau seperti sekarang, seperti mendapat kedudukan atau kekayaan (harta).
Tidak ingat saat "miskin"
Dari beberapa literasi dan fakta kehidupan, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang sudah terbudaya hidup mapan (sandang, pangan, papan), plus kemewahan dunia karena dasar ajaran agama yang kuat, ada kekayaan harta dari keluarga secara turun temurun, cenderung menjadi "manusia yang ingat" karena kuat mental dan psikologis.
Terus ingat dan menjaga menjadi manusia sebagai makhluk individu, beragama, berbudaya, dan sosial, karena selalu selesai dengan dirinya sendiri. Cerdas pikiran, akal, otak, dan cerdas hati, kaya hati.
Berbeda dengan orang-orang yang awalnya miskin harta. Sesuai proses dan fase kehidupan, biasanya, saat mereka menjadi Orang Kaya Baru (OKB), dapat dipastikan, kebanyakan akan menjadi "manusia yang lupa". Lupa saat miskinnya (pikiran dan hati) sebab pondasi agama dan pendidikan budi pekerti di dalam keluarga pun, ikutan miskin. Makanya, hidupnya egois, individulis. Sulit untuk tahu diri dan rendah hati.
"Manusia yang ingat" senantiasa kaya pikiran dan kaya hati. Sadar dan selalu dapat menempatkan diri menjadi manusia sebagai makhluk individu, beragama, berbudaya, dan sosial, sebab cerdas intelegensi, personality, dan iman, sehingga tahu diri dan rendah hati.
Semoga, saya, kita, adalah golongan "manusia yang ingat". Selalu belajar dengan merefleksi diri, instrospeksi diri, dijauhkan dari sikap sombong, sikap individualis, egois. Terus memperbaiki diri menjadi "manusia yang ingat." Â Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H