Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

(10) Pertanyaan untuk Diri Sendiri

1 April 2023   19:43 Diperbarui: 1 April 2023   20:33 2935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Sudahkah: saya Ikhtiar, berserah diri (tawakal) kepadaNya? Meraih kemenangan pada sesama manusia dan di jalan Tuhan? Dekat dengan sesama manusia dan mendekatkan diri kepada Tuhan, di fase 10 hari pertama Ramadhan 1444 H?

(Supartono JW.Ramadhan10.1444H.01042023)

Fase 10 hari pertama Ramadhan 1444 Hijriah telah kita lalui. Semoga kita semua dapat menjadi manusia yang berserah diri  (tawakal), manusia yang menjadi pemenang di jalanNya, dan manusia yang dekat dengan Tuhan. Aamiin.

Semoga dengan harapan, doa, tersebut kita dapat menjadi manusia, orang, yang senantiasa berserah diri, tunduk, patuh, pasrah, pada keputusan dan ketetapan Tuhan, Allah SWT. Menjadi orang yang meraih kemenangan sesuai ajaran agama. Menjadi orang yang senantiasa mendekatkan diri dan selalu dekat dengan Allah. Aamiin.

Agar kita menjadi manusia, orang, yang senantiasa berserah diri, tunduk, patuh, pasrah, pada keputusan dan ketetapan Tuhan, Allah SWT. Menjadi orang yang meraih kemenangan sesuai ajaran agama. Menjadi orang yang senantiasa mendekatkan diri dan selalu dekat dengan Allah, mari kita pahami apa makna mendalam dari berserah diri (tawakal), menang di kehidupan dunia dan di jalan Allah, serta dekat sesama manusia dan dengan Tuhan.

Berserah diri (tawakal)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tawakal artinya berserah (kepada kehendak Tuhan), dengan sepenuh hati percaya kepada Tuhan terhadap penderitaan, percobaan dan apa pun yang terjadi di dunia ini.

Tawakal berasal dari kata wakala, yang berarti menyerahkan, mempercayakan, dan mewakilkan urusan kita kepada Tuhan. Tujuannya, untuk mendapat kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.

Dengan tawakal, berserah diri, artinya kita menyerahkan suatu urusan kepada kebijakan Allah, yang mengatur segalanya-galanya. Sebab, berserah diri kepada Allah, adalah satu di antara perkara yang diwajibkan dalam ajaran agama kita. 

Berserah diri akan dapat dilakukan oleh sesorang yang sudah melaksanakan Ikhtiar (usaha) secara maksimal dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya.

Kemenangan

Makna menang dalam  KBBI adalah dapat mengalahkan (musuh, lawan, saingan), unggul.

Sementara arti kemenangan dalam ajaran agama adalah bukan kemenangan orang perorang (individu) ataupun bukan pula kemenangan suatu ras atau etnis tertentu, tetapi dalam AlQuran surat 110, kemenangan Islam adalah kemenangan kemanusiaan yaitu berduyun-duyunnya ummat manusia memperoleh hidayah Allah SWT.

Lalu, makna menang untuk diri kita sendiri, diartikan sebagai kemampuan menahan diri selama Ramadhan. Mampu menahan hawa nafsu dari segala godaan, mampu mengendalikan diri dan menghindari hal hal yang dapat membatalkan Ibadah Ramadhan. Intinya, menang di sini adalah mampu mengalahkan diri dari hal hal yang dilarang Allah SWT.

Dalam kehidupan sosial, kemenangan kita adalah saat, diri kita dengan segala sikap, perbuatan, dan langkah-langkahnya di terima dan didukung oleh keluarga, saudara, tetangga, lingkungan, hingga masyarakat.

Dengan kata lain, tentunya kita menjadi pribadi yang tidak egois, tidak individualis, menjadi pendengar yang baik. Menjadi orang yang peduli, tahu diri, mendahulukan kepentingan orang lain dengan mengukur kemampuan diri, tahu skala prioritas, punya simpati-empati, dan rendah hati.

Dekat 

Sesuai KBBI, dekat artinya pendek, tidak jauh (jarak atau antaranya), hampir, berhampiran, akrab,  rapat (tentang hubungan persahabatan, persaudaraan, dan sebagainya), menjelang.

Seperti dalam hal kemenangan, sebagai makhluk sosial, bila kita menjadi pribadi yang tidak egois, tidak individualis, menjadi pendengar yang baik. Menjadi orang yang peduli, tahu diri, mendahulukan kepentingan orang lain dengan mengukur kemampuan diri, tahu skala prioritas, punya simpati-empati, dan rendah hati, tentu kita akan dekat dengan
keluarga, saudara, tetangga, lingkungan, hingga masyarakat. Saling mendukung, mensuport, menyayangi, dan hidup penuh cinta kasih sesama manusia.

Selanjutnya, dekat dalam hubungannya dengan  Allah, menurut Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dalam sekian banyak karyanya, orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok.

(1l Kelompok al-muqtashidun, kelompok sedang atau pertengahan, yaitu orang-orang yang mendekati Allah dengan menjalani semua kewajiban dan menjauhi semua larangan Allah SWT.

(2l Kelompok al-muqarrabun, kelompok terdepan, yang mendekati Allah bukan saja dengan melakukan seluruh kewajiban dan menjauhi semua larangan, melainkan juga melengkapi diri dengan berbagai ibadah-ibadah sunnah (al-mandubat). 

Menurut pakar tafsir Al-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Al-Mufradat fi Gharib Alqur'an, pernyataan Rabb semesta alam itu bermakna bahwa Allah pada hakikatnya amat dekat dengan hamba-Nya.

Bahkan, menurut Alquran surah Qaf ayat 16, Allah justru lebih dekat kepada manusia daripada urat nadi manusia itu. Namun, lanjut al-Raghib, kedekatan-Nya tidaklah bersifat fisik, melainkan bersifat rohani dan spiritual.

Karenanya, Allah mendekati hamba-Nya melalui petunjuk dan limpahan nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga banyaknya. Inilah makna kedekatan Allah kepada manusia.

Lalu, bagaimana dengan kedekatan manusia kepada-Nya? Menurut al-Ashfahani, kita dapat mendekati-Nya secara rohani pula, yaitu menghiasi diri sebanyak mungkin dengan ''sifat-sifat'' Allah, seperti sifat pengasih dan penyayang.

Dari penjelasan tersebut, setiap manusia tentu berbeda-beda kedekatannya dengan Allah, tergantung klasifikasinya.

Yang pasti, Allah menyambut hamba-Nya yang dengan tulus dan ikhlas mendekatkan diri kepadaNya. Atau yang tadinya menjauh, namun hendak kembali ke jalan-Nya. 

Dalam sebuah hadits Qudsi yang sangat populer di kalangan kaum sufi, Allah SWT berfirman:
''Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, maka aku telah datang menghampirinya sehasta. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang menyambutnya dengan berlari. Dan, jika ia datang kepada-Ku dengan berlari, maka aku datang menyongsongnya lebih cepat lagi.''

Pada akhirnya, fase 10 hari pertama Ramadhan telah kita lewati. Pada akhirnya, kita kembali dapat instrospeksi, merefleksi, dan mengevaluasi diri, apalak dari 10 hari yang telah berlalu, saya, kita,  bukan orang yang merugi?

Apakah saya, kita, selama 10 hari sudah ikhtiar, berusaha semampu kita, tawakal? Apakah saya, kita sudah menjadi orang yang menang di hadapan sesama manusia dan Allah? Apakah saya sudah menjadi orang yang dekat dengan keluarga, saudara, tetangga, lingkungan, hingga masyarakat, serta mendekatkan diri kepada Allah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun