Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dalam Sepak Bola Akar Rumput, Pelatih (Guru) dan Orangtua adalah Teladan Fair Play

6 Maret 2023   20:25 Diperbarui: 6 Maret 2023   20:38 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dalam permainan sepak bola akar rumput, sikap dan karakter fair play (kesatria, jujur, wajar, adil) yang ditunjukkan pelatih dan orangtua adalah teladan bagi anak-anaknya. Ujungnya, tertanam fair play pula bagi anak untuk kehidupan nyata.(Supartono JW.06032023)

Ilustrasi Supartono JW
Ilustrasi Supartono JW
Bila pikiran dan hatinya tidak tersentuh, maka sikap fair play hanya sebatas harapan. Dalam sepak bola akar rumput, pelatih dan orangtua adalah teladan perbuatan fair play.

(Supartono JW. 06032023)

Kendati dijalankan secara mandiri dalam semua aspek, meski kegiatan yang dilakukan seharusnya menjadi tanggungjawab stakeholder terkait, namun nyatanya Kompetisi Sepak Bola Usia Dini bernama Liga Fair Play U-15 yang dihelat oleh Indonesia Junior Soccer League (IJSL), sudah berjalan hingga pekan ke-5 dari rencana 15 pekan, sebab Liga diikuti oleh 16 peserta. Sistem setengah kompetisi.

Pilot project

Liga yang saya sebut dengan LFP IJSL U-14 2023, sejatinya adalah sebuah Pilot Proyek untuk Sepak Bola Akar Rumput Indonesia.

Pilot Project adalah metode yang digunakan untuk menguji efektifitas, dampak dan keekonomisan suatu program. Ini merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi suatu program sebelum dijalankan secara komersial. Pilot Project juga dapat menghasilkan data dan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi sebuah program.

Karenannya, keberhasilan atau kegagalan LFP IJSL U-14 ini, akan dapat diukur datanya setelah 15 pekan laga dijalankan.   Kemudian, apakah sesuai data, akan disimpulkan berhasil atau gagal, maka data-data setiap pekan akan dapat digunakan sebagai acuan untuk menjalankan LFP yang sesungguhnya, seluruh peserta (semua bagiannya) wajib lulus sesuai standar dan kriteria fair play.

Indikator keberhasilan atau kegagalan, nantinya dapat dilihat dari data-data kecerdasan intelegensi (otak) dan personality (kepribadian) semua.pelaku yang terlibat dalam LFP ini.

Siapa pelaku LFP ini?
1. Peserta (SSB atau sejenisnya) di dalamnya ada:
a. Perwakilan (ujung tombak) yang ada di dalam WA Grup (WAG) LFP
b. Penanggungjawab/Pemilik SSB/Ketua
c. Ofisial (Manajer, Pelatih, Medis, Bagian.Umum, dll)
d. Siswa/pemain
e. Orangtua siswa/pemain
f. Penonton/pendukung SSB di luar Orangtua siswa/pemain

2. Komisi Perwasitan
3. Panitia
4. Tim Kesehatan
5. Tim Keamanan
6. Media dan Media partner
7. Sponsor/Donatur
8. Stakeholder terkait

Usai 15 pekan dijalankan, panitia LFP IJSL U-14, akan memperoleh data lengkap, minimal memiliki nilai rapor dari 8 pelakunya. Kemudian, hasil data rapor akan menjadi pijakan bagi program LFP berikutnya. Menjadi masukan bagi stakeholder terkait, terutama dalam mengentaskan kemiskinan intelegensi dan personality di sepak bola akar rumput Indonesia.

Orangtua sponsor utama, tapi yang fair play

Sepak bola akar rumput adalah pondasi Tim Nasional Indonesia, yang hingga kini terus berkubang masalah, penuh benang kusut karena tidak pernah serius digarap oleh PSSI. Hasilnya, selalu lahir pemain Timnas Indonesia di semua kelompok umur yang miskin otak dan kepribadian.

Ibaratnya sudah jatuh, tertimpa tangga. Sepak bola akar rumput yang kehilangan induk selama puluhan tahun, nyatanya dapat tetap menggeliat. Karena ditopang olah para orangtua, yang menjadi sponsor utama, menjadi penopang biaya operasional SSB dan sejenisnya.

Sebab itu, wadahnya kian menjamur. Mati satu tumbuh seribu. Tetapi penuh dengan dunia khayal, ambisi yang membabi buta. Banyak orangtua yang memasukkan anaknya ke wadah SSB dan sejenisnya, cita-citanya, anaknya dapat masuk Timnas Indonesia. Tetapi, tidak menyadari dan mengukur diri. Bekal Teknik, Intelegensi, Personality, dan Speed (TIPS) yang dimiliki anaknya, tidak cukup.

Bahkan para orangtua yang penuh ambisi, menyadari rapor TIPS anaknya buruk, tetap memaksakan diri, rela merogoh kocek lebih, demi anaknya dapat masuk tim utama, menjadi pemain yang secara reguler dipasang oleh pelatih dalam turnamen/kompetisi. Saat tim dan anaknya bermain dalam pertandingan, menunjukkan arogansi hingga menunjukkan kebodohan. Karena berteriak, mengumpat lawan, memprotes wasit, dan tindakan sejenis yang jauh dari sikap fair play. Sekaligus mempertontonkan kepada publik bahwa dirinya tidak cerdas intelegensi dan personality.

Terlebih, orangtua ini salah memasukkan anaknya ke wadah sepak bola akar rumput yang juga salah. Banyak wadah sepak bola akar rumput sejenis SSB yang didirikan dengan gaya-gaya-an. Langsung mentereng karena sang pemilik atau pendiri atau sponsor banyak uang, maka mereka tidak sadar masuk dunia pendidikan anak usia dini dan muda.

Dunia pendidikan anak usia dini dan muda, di sekolah formal, tidak boleh di ampu oleh sembarang orang. Ada syarat standarnya. Namun, di dunia sepak bola, hingga saat ini, PSSI benar-benar tidak memperhatikan hal ini. Terus membiarkan wadah sepak bola akar rumput yang menjamur, di kelola dan ditangani oleh sembarang orang.

Coba PSSI identifikasi, berapa persen dari ribuan wadah sepak bola akar rumput di Indonesia yang memenuhi standar. Terlebih yang sudah berani menggunakan nama Sekolah Sepak Bola (SSB). Apalagi yang gaya-gaya-an pakai nama Diklat, Akademi, dan lainnya.

Tetapi tidak tahu Sekolah, Diklat, Akademi itu apa, siapa, mengapa, kapan, bagaimana, dan di mananya? Fatal. Sangat fatal.

Coba dicek, siapa pemilik, pembina, pelatih (guru) yang memberikan didikan pelatihan. Apakah mereka memiliki kualifikasi akademis dan 4 kompetensi, layaknya guru di sekolah formal?

Mendidik pondasi manusia Indonesia, anak usia dini dan muda, guru/pelatihnya wajib memenuhi 4 kompetensi, yaitu kompetensi kepribadian, sosial, pedagogi, dan profesional.

Pak Erick Thohir, tolong di ricek, berapa persen wadah sepak bola akar rumput yang jumlahnya ribuan di Indonesia, pendiri/pemilik/pembina/pelatihnya memiliki 4 kompetensi tersebut?

Pendidikan di sekolah formal saja masih gagal sampai sekarang. Padahal, kepala sekolah dan gurunya banyak yang sudah memiliki 4 kompetensi, lho.

Pembina, pelatih sepak bola akar rumput, bila hanya berbekal lisensi kepelatihan sepak bola D sampai A, maka anak-anak Indonesia hanya dicekoki teknik dan fisik bemain sepak bola yang bisa jadi juga hanya kulitnya. Menyoal ini, coba tanya Shin Tae-yong, bagaimana anak-anak yang kemudian dipilih masuk ke Timnas?

Sudah didapati fakta, untuk bagian teknik, passing dan control bola saja banyak yang belum lulus. Dalam hal fisik pun sama. Sehingga, saat awal STy mengampu Timnas Indonesia, bagian fisik dan passing-control inilah yang digarap.

Lihat, hingga sampai saat Timnas U-20 berlaga di Piala Asia 2023, apa yang dikeluhkan STy? Penyelesaian akhir, itu bagian teknik dan kecerdasan intelegensi (otak). Kepercayaan diri dan sering membuat kesalahan sendiri. Ini bagian dari personality. Berikutnya, sering hilang konsentrasi, ini ranah intelegensi, personality, dan fisik (speed).

Dari mana para pemain Timnas U-20 ini dipetik STy? Bukankah pondasinya dari wadah sepak bola akar rumput. Di poles di klub,  bahkan sampai TC di Timnas, di 5 negara.

Coba lihat di belantara sepak bola akar rumput Indonesia, betapa banyak orangtua yang menjadikan anaknya seribu bendera. Masuk dan ke luar dari wadah sepak bola akar rumput, hanya karena merasa anaknya sudah hebat TIPSnya. Jadi, selalu mencari keuntungan menerima tawaran anaknya di pinang gratisan oleh wadah sepak bola instan yang juga buta maksud dan tujuan pembinaan sepak bola akar rumput.

Baik orang tua dan wadah instan ini tidak menyadari bahwa perbuatan mereka, sejatinya telah membunuh mental dan karakter anak yang sedang tumbuh kembang menjadi manusia yang sesuai pelajar Pancasila. Tetapi dengan cara seribu bendera, mental dan karakter anak  terdidik menjadi sombong, tinggi hati, egois, individualis, meremehkan, dll-nya. Hingga akibatnya membentuk manusia yang miskin pikiran (otak) dan miskin hati (personality), tetapi jiwanya culas, licik.

Semua hal negatif yang saya ungkap tersebut bila dikaitkan dengan sikap dan kareakter fair play (kesatria, jujur, wajar, adil) maka mereka-mereka yang tidak menyadari berada di lingkungan yang salah, berada di lingkungan yang tidak seharusnya mereka ada di dalamnya, berada di waktu dan tempat yang salah, adalah orang-orang yang tidak kesatria, tidak jujur, tidak berbuat sewajarnya, dan tidak memiliki jiwa keadilan.

Pekan ke-5 LFP IJSL

Bagaimana dengan gelaran pekan ke-5 Liga Fair Play (LFP) IJSL U-14, Minggu (5/3/2023) di Ayo Arena, Sentul City, Bogor.

Ada 3 catatan yang wajib diperhatikan oleh seluruh tim peserta.
1. Masih ada anggota WhatsApp Grup (WAG) yang belum lulus menjadi ujung tombak fair play bagi rombongan timnya.
2. Akibat, si ujung tombak belum lulus, malah ada si ujung tombak ini juga berlaku sebagai pelatih, bukan saja tidak dapat mengendalikan rombongan timnya (orangtua dan pemain), dirinya pun memang tidak lulus untuk menjadi pelatih di sepak bola akar rumput, sebab tetap tidak dapat menunjukkan sikap fair play sampai pekan ke-5.
3. Ujung tombak yang ada di WAG LFP pun gagal mengedukasi para orangtua siswa/pemain, sebab di pekan ke-5, masih ada tindakan tidak cerdas otak dan kepribadian yang ditunjukkan orangtua, seperti berteriak memprovokasi dll.

Agar di pekan ke-6 jalannya laga LFP penuh fair play, memang sebaiknya panitia, mengeluarkan perwakilan tim yang masuk WAG LFP yang belum lulus menjadi ujung tombak fair play bagi timnya.

Berikutnya, panitia juga memberikan peringatan kepada tim yang pelatih dan orangtuanya justru menjadi pemicu sikap tidak fair play, seperti tim wajib mengistirahkan pelatih yang belum paham fair play dan melarang orangtua hadir di LFP bagi tim yang orangtuanya masih hobi mempermalukan diri dan timnya di depan publik/tim lain.

Sebagai kegiatan/program pilot project maka data perilaku semua pihak yang terlibat dalam LFP harus menjadi catatan dan perbaikan untuk setiap pekan berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun