Usai 15 pekan dijalankan, panitia LFP IJSL U-14, akan memperoleh data lengkap, minimal memiliki nilai rapor dari 8 pelakunya. Kemudian, hasil data rapor akan menjadi pijakan bagi program LFP berikutnya. Menjadi masukan bagi stakeholder terkait, terutama dalam mengentaskan kemiskinan intelegensi dan personality di sepak bola akar rumput Indonesia.
Orangtua sponsor utama, tapi yang fair play
Sepak bola akar rumput adalah pondasi Tim Nasional Indonesia, yang hingga kini terus berkubang masalah, penuh benang kusut karena tidak pernah serius digarap oleh PSSI. Hasilnya, selalu lahir pemain Timnas Indonesia di semua kelompok umur yang miskin otak dan kepribadian.
Ibaratnya sudah jatuh, tertimpa tangga. Sepak bola akar rumput yang kehilangan induk selama puluhan tahun, nyatanya dapat tetap menggeliat. Karena ditopang olah para orangtua, yang menjadi sponsor utama, menjadi penopang biaya operasional SSB dan sejenisnya.
Sebab itu, wadahnya kian menjamur. Mati satu tumbuh seribu. Tetapi penuh dengan dunia khayal, ambisi yang membabi buta. Banyak orangtua yang memasukkan anaknya ke wadah SSB dan sejenisnya, cita-citanya, anaknya dapat masuk Timnas Indonesia. Tetapi, tidak menyadari dan mengukur diri. Bekal Teknik, Intelegensi, Personality, dan Speed (TIPS) yang dimiliki anaknya, tidak cukup.
Bahkan para orangtua yang penuh ambisi, menyadari rapor TIPS anaknya buruk, tetap memaksakan diri, rela merogoh kocek lebih, demi anaknya dapat masuk tim utama, menjadi pemain yang secara reguler dipasang oleh pelatih dalam turnamen/kompetisi. Saat tim dan anaknya bermain dalam pertandingan, menunjukkan arogansi hingga menunjukkan kebodohan. Karena berteriak, mengumpat lawan, memprotes wasit, dan tindakan sejenis yang jauh dari sikap fair play. Sekaligus mempertontonkan kepada publik bahwa dirinya tidak cerdas intelegensi dan personality.
Terlebih, orangtua ini salah memasukkan anaknya ke wadah sepak bola akar rumput yang juga salah. Banyak wadah sepak bola akar rumput sejenis SSB yang didirikan dengan gaya-gaya-an. Langsung mentereng karena sang pemilik atau pendiri atau sponsor banyak uang, maka mereka tidak sadar masuk dunia pendidikan anak usia dini dan muda.
Dunia pendidikan anak usia dini dan muda, di sekolah formal, tidak boleh di ampu oleh sembarang orang. Ada syarat standarnya. Namun, di dunia sepak bola, hingga saat ini, PSSI benar-benar tidak memperhatikan hal ini. Terus membiarkan wadah sepak bola akar rumput yang menjamur, di kelola dan ditangani oleh sembarang orang.
Coba PSSI identifikasi, berapa persen dari ribuan wadah sepak bola akar rumput di Indonesia yang memenuhi standar. Terlebih yang sudah berani menggunakan nama Sekolah Sepak Bola (SSB). Apalagi yang gaya-gaya-an pakai nama Diklat, Akademi, dan lainnya.
Tetapi tidak tahu Sekolah, Diklat, Akademi itu apa, siapa, mengapa, kapan, bagaimana, dan di mananya? Fatal. Sangat fatal.
Coba dicek, siapa pemilik, pembina, pelatih (guru) yang memberikan didikan pelatihan. Apakah mereka memiliki kualifikasi akademis dan 4 kompetensi, layaknya guru di sekolah formal?