Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fair Play dalam Kehidupan Nyata dan Permainan Sepak Bola, Wajib Ada Ujung Tombak dan Teladanannya

28 Februari 2023   08:54 Diperbarui: 28 Februari 2023   09:40 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Supartono JW

Delapan laga yang dihelat di pekan ke-4 Liga Fair Play (LFP) IJSL U-14, di Lapangan Ayo Arena, Sentul City, Bogor, Minggu, 26 Februari 2023, dapat tersaji dengan Fair Play (kesatria, jujur, wajar, dan adil).

Cumlaude dan KKM di LFP

Sebelum LFP IJSL U-14 di gelar, saya sudah siap membantu panitia, untuk mengawal kontestasi yang diikuti oleh 16 tim terpilih dan dipilih, dengan selalu membuat catatan pergerakan proses pendidikan fair play di LFP ini. Terlebih, LFP adalah wadah pertama di Indonesia yang langsung mengusung pendidikan, pelatihan, dan pembinaan fair play untuk semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Harapannya, layaknya sebuah sekolah, usai LFP menuntaskan semua laga, maka semua pihak yang terlibat akan lulus dan diwisuda karena memperoleh nilai rapor yang sesuai standar, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) layaknya di proses pendidikan di sekolah formal. (KKM) yang biasanya menjadi acuan untuk menentukan capaian belajar siswa sudah tercapai atau belum. Penggunaan KKM memang selalu dijadikan acuan yang diberikan di akhir semester untuk mengetahui apakah nilai yang diperoleh siswa sudah tuntas atau tidak.

Selain KKM, di akhir kompetisi, peserta juga dapat disematkan gelar Cumlaude Fair Play. Cumlaude adalah istilah dari bahasa latin yang memiliki arti pujian. Istilah ini diberikan saat proses mahasiswa menyelesaikan studi di sebuah perguruan tinggi.

Cumlaude dibedakan dalam tiga predikat, yaitu Cumlaude, Summa Cumlaude, dan Magna Cumlaude. Cumlaude didefinisikan sebagai "with praise" atau dengan kehormatan. Magna Cumlaude memiliki arti "With Great Praise" atau dengan kehormatan besar, dan Summa Cumlaude berarti "With Highest Praise" atau dengan kehormatan tertinggi.

Sebagai sebuah wadah yang mendidik, melatih, dan membina, langsung dalam praktik kompetisi, LFP akan dinyatakan berhasil bila setiap pihak berhasil lulus, mendapatkan nilai rapor yang sesuai KKM dan saat diwisuda mendapat Cumlaude Fair Play atau Summa Cumlaude Fair Play atau Magna Cumlaude Fair Play.

Ujung tombak-keteladanan fair play

Kunci dari mengapa, laga pekan ke-4 berjalan tertib, aman, dan sikap fair play sudah mulai nampak menjadi tradisi/budaya benar dan baik, tentu bukan hal semudah membalik telapak tangan. Pertanyaannya, siapa yang menjadi ujung tombak, keteladanan pendidikan fair play dalam LFP ini? Apakah para pengurus, tim pelatih, ofisial, orangtua, dan siswa/pemain, pendukung/penonton di setiap tim? Apakah dari perangkat pertandingan?

Bila dianalisis dari jalannya setiap laga di pekan ke-4, pertandingan berjalan tertib, lancar dan aman, adalah buah dari perbuatan para ujung tombak pendidikan fair play dari sebelum dan saat delapan laga tersaji. Siapa para ujung tombak keteladanan pendidikan fair play, yang berperan sangat-sangat vital. Sehingga semua pertandingan dapat dikategorikan sudah berjalan dengan standar fair play? 

Saya pun dapat memberikan nilai fair play di pekan ke-4 dengan angka rapor=70. Masing-masing aspek dari pengertian dan pemahaman fair play mendapat poin yang sama. Kesatria=70, Jujur=70, Wajar=70, dan Adil=70. Artinya, bila dianalogikan sebagai sebuah proses pendidikan di sekolah formal, nilai rapor 70 sama dengan memenuhi KKM. Pasalnya, saya menentapkan sejak sebelum LFP digulirkan, nilai minimal lulus KKM adalah 70.

Lalu, siapa ujung tombaknya dan keteladanannya, hingga LFP pekan ke-4 dapat mencapai KKM minimal? Jawabnya:

Pertama, sudah pasti para individu yang mewakili timnya, masuk dalam  WhatsApp Grup (WAG) Fairplay Competition (FC) U-14 yang dibuat oleh panitia. Para individu ini, sementara sudah dapat dikategorikan mencapai KKM dalam mengawal anggota tim. Artinya para individu di WAG FC U-14 sudah membuktikan mampu menjadi jembatan komunikator yang benar dan baik dengan seluruh awak timnya.

Fakta bahwa pekan ke-4, LFP sudah dapat menyentuh nilai-nilai fair play pada KKM standar minimal, maka dapat saya pastikan, para individu di dalam WAG FC U-14, bukanlah para individu yang bukan sekadar namanya tercantum saja. Tetapi sudah menjadi individu yang bertanggungjawab. Saat menerima informasi dalam bentuk apa pun terkait LFP, membaca, memahami, lalu mensosialisikan kepada semua pihak di dalam timnya.

Artinya, sebelum fair play dipraktikkan oleh para siswa/pemain/ofisial-pelatih/para orangtua/pendukung tim di lapangan, para individu di WAG FC U-14 sudah menjadi diri yang fair play. Diri yang kesatria, jujur, wajar, dan adil. Memberi keteladanan.

Tidak seperti anggota grup WA kebanyakan. Biasanya anggota grup WA, kebanyakan hanya diisi oleh para individu yang sok tahu, egois, individualis. Bahkan rendah intelegensi dan personality meski berpendidikan tinggi. Banyak individu yang menjadi anggota, saat menerima informasi atau apa pun terkait hal yang terkait dengan tema grup, atau sharing dari anggot lainnya, tidak mencoba membaca dengan benar, tetapi malah mengabaikan informasi dan sekadar membaca judulnya, bukan isi bacaan dan lainnya. Mirisnya, sikapnya malah arogan dll.

Kedua, kepemimpinan pengadil di tengah lapangan dan di dua sisi pinggir lapangan. Paket pemimpin pertandingan, semua laga pekan ke-4, menjadi paket lengkap untuk terwujudnya laga-laga berjalan fair play. Dengan kepemimpinan wasit dan dua asistennya, bertindak fair play, yaitu kesatria, jujur, wajar, dan adil, imbasnya membuat semua pihak yang memiliki ikatan emosional dengan tim di setiap laga, merasakan kenyamanan, merasakan perlakukan obyektif dan lainnya, karena memimpin dan mengawal laga dengan benar dan baik. 

Tidak ada tindakan yang menciderai sikap kesatria. Tidak ada perlakuan drama karena jujur. Tidak melebihkan atau mengurangi, tetapi berbuat wajar sesuai kondisi dan fakta. Semua dibungkus dengan tertib oleh dasar keadialan, tidak ada kesan memihak, memberikan keuntungan atau merugikan salah satu pihak.

Dua faktor itulah yang membuat laga pekan ke-4 LFP U-14 berjalan lancar, tertib, dan aman. Hasilnya, proses pendidikan fair play menyentuh nilai standar minimal KKM 70. Pasalnya, baik individu dan paket pengadil di lapangan, telah kerasukan fair play secara mendalam. Menyentuh intelegensi dan personalitynya. Membuat menjadi manusia-manusia yang kaya pikiran dan hati, yang menjadi pondasi dari kokohnya bangunan berenama fair play.

Fair play bukan sekadar teori yang dihafal. Tetapi dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata, salah satunya dalam permainan sepak bola. Seseorang yang pribadi dan karakternya berkembang menjadi kesatria, berani dalam hal kebenaran dan berani mengakui kesalahan. Jujur, tidak tidak culas, tidak berbuat manipulatif. Wajar, bersikap sesuai kondisi dan aturan, tidak melebihkan, tidak mengurangi. 

Dan adil, tidak berat sebelah, tidak mencari menang dan untung sendiri atau menguntungkan-merugikan pihak lain, adalah manusia fair play. Itulah sekurangnya pemahaman di antara beribu pengertian tentang fair play yang di dalamnya ada sportivitas (kesatria dan jujur), serta fair play sendiri yang maknanya wajar dan adil.

Dengan begitu, saya tegaskan ulang bahwa manusia atau orang yang dapat melakukan fair play, pastilah manusia/orang yang cerdas intelegensi (otak) dan cerdas personality (Kepribadian: attitude, emosi, etika, santun, rendah hati, tahu diri, dll).

Manusia/orang yang cerdas intelegensi dan personality, juga dapat dipastikan sebagai manusia/orang yang terdidik dengan benar dan baik di lingkungan keluarga, sekolah/kampus/tempat kerja dll, dan di tengah masyarakat. Manusia/orang yang cerdas intelegensi dan personality, memiliki standar kecakapan, kompetensi dalam hal kognisi (otak), afektif (sikap-kepribadian), dan motorik (gerak langkah yang benar, baik, positif). Mereka tentu tahu dan paham teori kognisi, afektif, dan motorik, maka mumpuni dalam mempraktikkan, mengaplikasikan, mengimplementasikan di dunia nyata, termasuk permainan sepak bola.

Manusia/orang yang paham teori tentang fair play, lalu cerdas karena terdidik dengan benar dan baik, tentu akan kompeten mempraktikkan, mengaplikasikan, mengimplementasikan perbuatan fair play dalam kehidupan nyata. Apalagi sekadar untuk permainan sepak bola.

Saya kejar yang bunuh diri (bodoh)

Maaf, seperti yang sudah saya lakukan, di grup-grup wadah aktivitas sepak bola usia akar rumput lain di Indonesia. Sesuai kapasitas saya, di WAG FC U-14 ini, sebelum pekan ke-4, saya juga sudah mengejar individu yang masih miskin intelegensi dan personality dengan cara komunikasi personal (japri), sebab dari komentar atau tanggapan dalam grup, tanpa disadari, sejatinya individu ini bunuh diri. Bunuh diri menelanjangi diri dan membongkar kebodohannya sendiri.

Dengan komunikasi langsung, japri, saya menjadi paham, setelah terjadi komunikasi, individu ini layak atau tidak masuk WAG FC U-14? Bahkan saya jadi tahu, individu ini layak atau tidak berkecimpung di dunia sepak bola akar rumput, sesuai provilnya (CV).

Sejatinya, PSSI punya kewenangan menertibkan para individu yang seharusnya tidak ada di lingkungan sepak bola akar rumput, karena pendidikan dan kompetensinya banyak yang tidak memenuhi syarat. Sepak bola akar rumput=pondasi untuk semua kehidupan nyata. Yang dididik adalah anak-anak usia dini dan muda, yang di level sekolah formal saja, sekarang gurunya wajib berijazah Sarjana. 

Bagaimana anak usia dini dan muda dididik oleh guru atau pelatih/pembina sepak bola yang tidak kompeten dan prosfesional sesuai syarat mengampu anak usia dini dan muda? Jawabnya, lihatlah kondisi sekarang, bagaimana mental orangtua dan anak-anak di dunia sepak bola akar rumput Indonesia. Sudah ratusan artikel menyoal ini saya tulis. Apakah PSSI bergerak? Belum juga.

Bersyukur dan bangga, LFP IJSL U-14 baru berjalan empat pekan, namun tanda-tanda tercapainya tujuan lahirnya cikal bakal manusia-manusia fair play di Indonesia sudah nampak. Bravo individu dalam WAG FC U-14 dan paket pengadil di lapangan. Kalian sudah menjalankan peran ujung tombak fair play yang diharapkan. Teruskan, lanjutkan, untuk pekan-pekan berikutnya. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun