Lalu, siapa ujung tombaknya dan keteladanannya, hingga LFP pekan ke-4 dapat mencapai KKM minimal? Jawabnya:
Pertama, sudah pasti para individu yang mewakili timnya, masuk dalam  WhatsApp Grup (WAG) Fairplay Competition (FC) U-14 yang dibuat oleh panitia. Para individu ini, sementara sudah dapat dikategorikan mencapai KKM dalam mengawal anggota tim. Artinya para individu di WAG FC U-14 sudah membuktikan mampu menjadi jembatan komunikator yang benar dan baik dengan seluruh awak timnya.
Fakta bahwa pekan ke-4, LFP sudah dapat menyentuh nilai-nilai fair play pada KKM standar minimal, maka dapat saya pastikan, para individu di dalam WAG FC U-14, bukanlah para individu yang bukan sekadar namanya tercantum saja. Tetapi sudah menjadi individu yang bertanggungjawab. Saat menerima informasi dalam bentuk apa pun terkait LFP, membaca, memahami, lalu mensosialisikan kepada semua pihak di dalam timnya.
Artinya, sebelum fair play dipraktikkan oleh para siswa/pemain/ofisial-pelatih/para orangtua/pendukung tim di lapangan, para individu di WAG FC U-14 sudah menjadi diri yang fair play. Diri yang kesatria, jujur, wajar, dan adil. Memberi keteladanan.
Tidak seperti anggota grup WA kebanyakan. Biasanya anggota grup WA, kebanyakan hanya diisi oleh para individu yang sok tahu, egois, individualis. Bahkan rendah intelegensi dan personality meski berpendidikan tinggi. Banyak individu yang menjadi anggota, saat menerima informasi atau apa pun terkait hal yang terkait dengan tema grup, atau sharing dari anggot lainnya, tidak mencoba membaca dengan benar, tetapi malah mengabaikan informasi dan sekadar membaca judulnya, bukan isi bacaan dan lainnya. Mirisnya, sikapnya malah arogan dll.
Kedua, kepemimpinan pengadil di tengah lapangan dan di dua sisi pinggir lapangan. Paket pemimpin pertandingan, semua laga pekan ke-4, menjadi paket lengkap untuk terwujudnya laga-laga berjalan fair play. Dengan kepemimpinan wasit dan dua asistennya, bertindak fair play, yaitu kesatria, jujur, wajar, dan adil, imbasnya membuat semua pihak yang memiliki ikatan emosional dengan tim di setiap laga, merasakan kenyamanan, merasakan perlakukan obyektif dan lainnya, karena memimpin dan mengawal laga dengan benar dan baik.Â
Tidak ada tindakan yang menciderai sikap kesatria. Tidak ada perlakuan drama karena jujur. Tidak melebihkan atau mengurangi, tetapi berbuat wajar sesuai kondisi dan fakta. Semua dibungkus dengan tertib oleh dasar keadialan, tidak ada kesan memihak, memberikan keuntungan atau merugikan salah satu pihak.
Dua faktor itulah yang membuat laga pekan ke-4 LFP U-14 berjalan lancar, tertib, dan aman. Hasilnya, proses pendidikan fair play menyentuh nilai standar minimal KKM 70. Pasalnya, baik individu dan paket pengadil di lapangan, telah kerasukan fair play secara mendalam. Menyentuh intelegensi dan personalitynya. Membuat menjadi manusia-manusia yang kaya pikiran dan hati, yang menjadi pondasi dari kokohnya bangunan berenama fair play.
Fair play bukan sekadar teori yang dihafal. Tetapi dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata, salah satunya dalam permainan sepak bola. Seseorang yang pribadi dan karakternya berkembang menjadi kesatria, berani dalam hal kebenaran dan berani mengakui kesalahan. Jujur, tidak tidak culas, tidak berbuat manipulatif. Wajar, bersikap sesuai kondisi dan aturan, tidak melebihkan, tidak mengurangi.Â
Dan adil, tidak berat sebelah, tidak mencari menang dan untung sendiri atau menguntungkan-merugikan pihak lain, adalah manusia fair play. Itulah sekurangnya pemahaman di antara beribu pengertian tentang fair play yang di dalamnya ada sportivitas (kesatria dan jujur), serta fair play sendiri yang maknanya wajar dan adil.
Dengan begitu, saya tegaskan ulang bahwa manusia atau orang yang dapat melakukan fair play, pastilah manusia/orang yang cerdas intelegensi (otak) dan cerdas personality (Kepribadian: attitude, emosi, etika, santun, rendah hati, tahu diri, dll).