Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sumbangsih Sepak Bola Akar Rumput dalam Membentuk Kognisi, Afektif, dan Psikomotor Anak

26 September 2022   09:18 Diperbarui: 26 September 2022   09:47 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan ada yang tidak berlisensi, pun tidak tahu apa itu pedagogi, tetap mampu mengalahkan pengajaran di sekolah formal dalam nilai-nilai kehidupan manusia bermartabat dan berkarakter berbudi pekerti luhur, ranah afektif dan psikomotor.

Pasalnya, guru-guru di sekolah formal hingga kini masih terus berkutat dalam paradigma mengajar, bukan mendidik. Para guru PNS, meski digaji dari uang rakyat, tetap saja bermasalah dalam kompetensi pribadi, pedagogik, sosial, dan profesional. Sudah begitu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, guru di Indonesia yang layak disebut guru terus jauh dari harapan.

Fakta bahwa para siswa Indonesia ketika ikut bergelut dalam kehidupan nyata, seperti dalam kegiatan sepak bola akar rumput, siswa sangat sulit menunjukkan jejak kemampuan kognifif, afektif, dan psikomotor yang didapat dari bangku sekolah formal, menjadi signifikan karena kondisi gurunya masih banyak yang tidak kompeten, sekadar layak (berijazah S1 atau S2), dan bekal Sertifikasi guru yang sekadar formalitas, bukan kualitas, jauh dari kata kreatif apalagi inovatif.

Yang sangat miris, selain kompetensi pribadi, sosial, dan profesional tidak terpenuhi, Surat Izin Mengajar (SIM) sebagai guru pun seolah hanya SIM formalitas, yaitu pedagoginya.

Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pedagogi adalah ilmu pendidikan; ilmu pengajaran. Ilmu dan praktik pedagogi inilah yang terus menjadi.pekerjaan rumah (PR) dunia pendidikan formal Indonesia. Banyak Sarjana yang tidak memiliki bekal pedagogi, tetapi jadi guru. Bagaimana mau bicara kompetensi pribadi, sosial, dan profesional, ilmu mendidik saja tidak punya/lemah.

Buntutnya, bisa terbayang bagaimana capaian hasil pendidikan siswa dalam ranah kognitif, afektif, psikomotor?

Kognisi adalah kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dan sebagainya) atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri. Juga berarti proses, pengenalan, dan penafsiran lingkungan oleh seseorang dan hasil pemerolehan pengetahuan.

Lalu, afektif adalah berkenaan dengan perasaan (seperti takut, cinta), mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi, dan mempunyai gaya atau makna yang menunjukkan perasaan (tentang gaya bahasa atau makna). Serta segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap, watak, perilaku, minat, serta nilai yang terdapat pada diri individu.

Dan, psikomotor berhubungan dengan aktivitas fisik yang berkaitan dengan proses mental dan psikologi. Juga ranah yang berkaitan dengan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.

Rapor kualitas kognisi, afektif, dan psikomotor siswa dalam kehidupan nyata, adalah cermin dari berhasil atau gagalnya sekolah formal (guru) dalam hal  mendidik siswa karena tinggi atau rendahnya rapor kompetensi guru, terutama dalam kecakapan pedagogi gurunya. Kecakapan adalah kemampuan, kesanggupan, kepandaian atau kemahiran.

Hasil survei PISA pun cermin dari apa yang terjadi di sekolah dan apa yang diberikan oleh guru kepada siswa yang juga dipengaruhi oleh faktor Kurikulum Pendidikan yang terus berganti baju, terus melahirkan masalah baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun