Lalu ada dukungan Operator Kompetisi Swasta, hingga lahir pemain nasional yang bertalenta. Nampak hasil perkembangan afektif dan psikomotornya secara signifikan.Â
Sementara sektor kognisi, yang seharusnya berkembang melalui jalur sekolah formal, malah terus tercecer. Buntutnya, pendidikan Indonesia pun terus berkubang dalam masalah dan di negara Asia Tenggara saja terus tertinggal.
Selain sektor kognisi, sekolah formal pun terus terkendala melahirkan SDM Indonesia yang cerdas afektif dan psikomotor. Indentifikasinya, siswa Indonesia terus lemah dalam literasi, matematika, dan sains.
Dalam berbagai kesempatan yang saya lakukan, khususnya saat berhadapan dengan anak-anak di sepak bola akar rumput, sering saya bertanya: Anak-anak ini di sekolah, gurunya mendidik dan mengajar apa? Hingga, saya menghadapi anak-anak dari usia SD hingga SMA, seolah tidak pernah dididik dan belajar di sekolah.
Sangat lemah literasi, yaitu kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa.
Dari masalah literasi ini, saya terus menemukan siswa/anak yang "Tong Kosong, pun Tak Berbunyi". Peribahasa, Tong kosong nyaring bunyinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai orang yang bodoh biasanya banyak bualannya atau cakapnya. Tetapi, kenyataan yang ada sekarang, sudah bodoh, tidak percaya diri, pendiam, lemah berpikir, tidak kreatif, tidak inovatif. Sudah begitu, sangat mudah melontarkan kata-kata kasar, kata-kata binatang di tengah teman-temannya, saat bersosialisasi dalam latihan dll.
Tentu hal tersebut bukan hasil dari pendidikan dan pelajaran di sekolah, namun bisa jadi karena pengaruh dunia maya, teknologi, dan pergaulan sosial di lingkungan masyarakat.
Kelemahan berikutnya sangat menonjol dalam matematik dan sains. Ini sesuai dengan hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang menunjukkan kemampuan matematika, sains, dan literasi Indonesia berada pada peringkat rendah, hingga kini di 2022, faktanya seperti yang saya hadapi di lapangan sepak bola dan kehidupan nyata, siswa/anak Indonesia tetap lemah dalam kompetensi tersebut.Â
Pertanyaan saya, apa sih yang dilakukan guru di sekolah?
Menristekdikti, Nadiem, tahu tidak?
Lebih spesifik lagi, Menristekdikti, Nadiem apakah tahu, bahwa wadah sepak bola akar rumput di Indonesia yang terus bertahan dan menjamur, meski diasuh oleh banyak pembina dan pelatih yang tidak memiliki Ijasah Sarjana, hanya lisensi pelatih sepak bola minimalis.