Sumbangsih sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) sangat besar dalam mengembangkan sektor afektif dan psikomotor, sehingga mudah menanamkan nilai-nilai untuk membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia berkarakter, cerdas intelegensi-personality, teknik, speed, sehingga menghargai (waktu, kesempatan yang diberikan, keluarga dan orang lain), selalu tepat waktu, displin-tanggungjawab, tidak individualis, tidak egois, mau mendengarkan, kreatif-inovatif, peduli, simpati-empati, Â santun berbudi, tahu diri, membumi, rendah hati di lapangan sepak bola dan kehidupan nyata.Â
(Supartono JW.25092022)
Keberhasilan Timnas Indonesia Senior menekuk Tim beranking 84 dunia, yaitu Timnas Curacao, melengkapi kesuksesan Shin Tae-yong (STy) dalam mengampu penggawa Garuda. Sebab, sebelumnya, STy telah mengantar Timnas Senior dan Timnas U-19 ke Putaran Final Piala Asia 2023.
Selain itu, Timnas U-16 asuhan Bima Sakti juga tidak kalah hebat, karena mampu menyabet Juara Piala AFF U-16 2022, dengan menggilas Vietnam sama seperti Timnas U-19.
Kuncinya, pondasi dan proses
Keberhasilan Timnas Senior lolos ke Piala Asia 2023, disusul Timnas U-16 mengunci gelar Piala AFF U-16 2022. Lalu, diikuti Timnas U-19 lolos ke Piala Asia U-20 2023. Serta suksesnya Timnas Senior menggebuk Curacao di pertemuan pertama dalam FIFA Matchday September 2022, memberikan bukti bahwa semua raihan tersebut adalah dari adanya PONDASI dan PROSES. Bukan hal yang semudah membalik telapak tangan atau produk instan.
Kunci dari keberhasilan tersebut, berdasar atas nilai rapor pondasi yang terpenuhi, yaitu standar teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS) para pemain Timnas yang diperoleh dengan proses, tidak instan, melahirkan para pemain sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang berkarakter, cerdas TIPS, sangat nampak signifikan perkembangannya khususnya tidak lagi yang berkarakter egois dan individualis.Â
Penuh tanggungjawab, tahu diri, sadar diri, santun, peduli, simpati-empati, membumi, dan rendah hati. Ini adalah bagian dari afektif dan psikomotor.
Membentuk SDM berkarakter, kalahkan sekolah formal?
Membentuk SDM Indonesia khususnya dalam sepak bola yang cerdas TIPS dan berkarakter benar dan baik, adalah pekerjaan yang sulit dan rumit, namun sepak bola akar rumput (Usia dini dan muda) di Indonesia yang tidak diurus serius oleh PSSI karena wadahnya tidak pernah dibakukan, tidak ada regulasi, tidak ada subsidi atau tunjangan anggaran pendidikan, pelatihan, dan pembinaan.
Juga tidak ada kompetisi resmi sesuai nama wadah (SSB dan sejenisnya), tidak ada sertifikasi pembina dan pelatihnya. Hanya ada lisensi pelatih yang jauh dari memenuhi standar untuk mendidik anak-anak akar rumput yang seharusnya minimal berijazah Sarjana, ternyata tetap sanggup berdiri dan berjalan TEGAK dengan SPONSOR UTAMA Para ORANGTUA.Â
Lalu ada dukungan Operator Kompetisi Swasta, hingga lahir pemain nasional yang bertalenta. Nampak hasil perkembangan afektif dan psikomotornya secara signifikan.Â
Sementara sektor kognisi, yang seharusnya berkembang melalui jalur sekolah formal, malah terus tercecer. Buntutnya, pendidikan Indonesia pun terus berkubang dalam masalah dan di negara Asia Tenggara saja terus tertinggal.
Selain sektor kognisi, sekolah formal pun terus terkendala melahirkan SDM Indonesia yang cerdas afektif dan psikomotor. Indentifikasinya, siswa Indonesia terus lemah dalam literasi, matematika, dan sains.
Dalam berbagai kesempatan yang saya lakukan, khususnya saat berhadapan dengan anak-anak di sepak bola akar rumput, sering saya bertanya: Anak-anak ini di sekolah, gurunya mendidik dan mengajar apa? Hingga, saya menghadapi anak-anak dari usia SD hingga SMA, seolah tidak pernah dididik dan belajar di sekolah.
Sangat lemah literasi, yaitu kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa.
Dari masalah literasi ini, saya terus menemukan siswa/anak yang "Tong Kosong, pun Tak Berbunyi". Peribahasa, Tong kosong nyaring bunyinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai orang yang bodoh biasanya banyak bualannya atau cakapnya. Tetapi, kenyataan yang ada sekarang, sudah bodoh, tidak percaya diri, pendiam, lemah berpikir, tidak kreatif, tidak inovatif. Sudah begitu, sangat mudah melontarkan kata-kata kasar, kata-kata binatang di tengah teman-temannya, saat bersosialisasi dalam latihan dll.
Tentu hal tersebut bukan hasil dari pendidikan dan pelajaran di sekolah, namun bisa jadi karena pengaruh dunia maya, teknologi, dan pergaulan sosial di lingkungan masyarakat.
Kelemahan berikutnya sangat menonjol dalam matematik dan sains. Ini sesuai dengan hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang menunjukkan kemampuan matematika, sains, dan literasi Indonesia berada pada peringkat rendah, hingga kini di 2022, faktanya seperti yang saya hadapi di lapangan sepak bola dan kehidupan nyata, siswa/anak Indonesia tetap lemah dalam kompetensi tersebut.Â
Pertanyaan saya, apa sih yang dilakukan guru di sekolah?
Menristekdikti, Nadiem, tahu tidak?
Lebih spesifik lagi, Menristekdikti, Nadiem apakah tahu, bahwa wadah sepak bola akar rumput di Indonesia yang terus bertahan dan menjamur, meski diasuh oleh banyak pembina dan pelatih yang tidak memiliki Ijasah Sarjana, hanya lisensi pelatih sepak bola minimalis.
Bahkan ada yang tidak berlisensi, pun tidak tahu apa itu pedagogi, tetap mampu mengalahkan pengajaran di sekolah formal dalam nilai-nilai kehidupan manusia bermartabat dan berkarakter berbudi pekerti luhur, ranah afektif dan psikomotor.
Pasalnya, guru-guru di sekolah formal hingga kini masih terus berkutat dalam paradigma mengajar, bukan mendidik. Para guru PNS, meski digaji dari uang rakyat, tetap saja bermasalah dalam kompetensi pribadi, pedagogik, sosial, dan profesional. Sudah begitu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, guru di Indonesia yang layak disebut guru terus jauh dari harapan.
Fakta bahwa para siswa Indonesia ketika ikut bergelut dalam kehidupan nyata, seperti dalam kegiatan sepak bola akar rumput, siswa sangat sulit menunjukkan jejak kemampuan kognifif, afektif, dan psikomotor yang didapat dari bangku sekolah formal, menjadi signifikan karena kondisi gurunya masih banyak yang tidak kompeten, sekadar layak (berijazah S1 atau S2), dan bekal Sertifikasi guru yang sekadar formalitas, bukan kualitas, jauh dari kata kreatif apalagi inovatif.
Yang sangat miris, selain kompetensi pribadi, sosial, dan profesional tidak terpenuhi, Surat Izin Mengajar (SIM) sebagai guru pun seolah hanya SIM formalitas, yaitu pedagoginya.
Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pedagogi adalah ilmu pendidikan; ilmu pengajaran. Ilmu dan praktik pedagogi inilah yang terus menjadi.pekerjaan rumah (PR) dunia pendidikan formal Indonesia. Banyak Sarjana yang tidak memiliki bekal pedagogi, tetapi jadi guru. Bagaimana mau bicara kompetensi pribadi, sosial, dan profesional, ilmu mendidik saja tidak punya/lemah.
Buntutnya, bisa terbayang bagaimana capaian hasil pendidikan siswa dalam ranah kognitif, afektif, psikomotor?
Kognisi adalah kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dan sebagainya) atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri. Juga berarti proses, pengenalan, dan penafsiran lingkungan oleh seseorang dan hasil pemerolehan pengetahuan.
Lalu, afektif adalah berkenaan dengan perasaan (seperti takut, cinta), mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi, dan mempunyai gaya atau makna yang menunjukkan perasaan (tentang gaya bahasa atau makna). Serta segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap, watak, perilaku, minat, serta nilai yang terdapat pada diri individu.
Dan, psikomotor berhubungan dengan aktivitas fisik yang berkaitan dengan proses mental dan psikologi. Juga ranah yang berkaitan dengan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.
Rapor kualitas kognisi, afektif, dan psikomotor siswa dalam kehidupan nyata, adalah cermin dari berhasil atau gagalnya sekolah formal (guru) dalam hal  mendidik siswa karena tinggi atau rendahnya rapor kompetensi guru, terutama dalam kecakapan pedagogi gurunya. Kecakapan adalah kemampuan, kesanggupan, kepandaian atau kemahiran.
Hasil survei PISA pun cermin dari apa yang terjadi di sekolah dan apa yang diberikan oleh guru kepada siswa yang juga dipengaruhi oleh faktor Kurikulum Pendidikan yang terus berganti baju, terus melahirkan masalah baru.
Mengapa bisa?
Dalam sepak bola akar rumput, kompetisi sepak bola yang benar, bukan sekadar turnamen/festival, yang dihelat oleh Operator Swasta, terbukti memiliki sumbangsih yang sangat besar dalam membantu perkembangan kognisi, afektif, dan psikomotor siswa/anak.
Dari sekian banyak contoh fakta, saya ambil salah satunya, yaitu dalam ranah kompetisi. Sebuah tim sepak bola yang terlibat dalam sebuah kompetisi yang digelar Operator Swasta, sudah tahu akan bertanding menghadapi siapa lawannya, sebagai tim home atau away, di mana Stadion/Lapangan lokasi bertanding, berapa jarak tempuhnya, laga urutan ke berapa, jam berapa, ada siaran langsungnya.Â
Maka, seluruh komponen dalam tim harus menyiapkan segalanya agar tidak ada kendala begitu kick off laga digulirkan.
Di luar masalah kesiapan Tim dan Individu pemain dalam TIPS, hal yang  wajib disiapkan oleh tim dan pemain adalah urusan jersey, mulai dari kaos, celana, kaos kaki pemain dan kiper, tim away wajib menyesuaikan dengan tim home, sebab warna kaos, celana, kaos kaki pemain dan kiper, semua wajib berbeda.
Bila tim bertanding di laga ke-1 yang biasanya kick off pukul 07.30 WIB, maka setiap tim dan pemain, harus sudah tiba di lapangan pukul berapa, dan berangkat dari rumah pukul berapa. Wajib menghiting waktu, jalur jalan yang dilalui, dan kemungkinan kendala yang bisa terjadi.
Dalam menyusun pemain pun, karena adanya batas/kuota pemain sesuai regulasi, maka selalu ada siswa/pemain yang tidak disertakan di setiap laga, sesuai hasil latihan, kedisiplinan, dan perkembangan rapor TIPS pemain.
Setiap tim dan pemain pun wajib siap kalah, menjunjung sportivitas. Selalu wajib  ada cerdas intelegensi-personality, teknik, speed, menghargai (waktu, kesempatan yang diberikan, keluarga dan orang lain), selalu tepat waktu, displin-tanggungjawab, tidak individualis, tidak egois, mau mendengarkan, kreatif-inovatif, peduli, simpati-empati,  santun berbudi, tahu diri, membumi, rendah hati di lapangan sepak bola, yang juga wajib dipraktikan dalam kehidupan nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H