Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kondisi Darurat, Kok yang Muncul Kurikulum Opsi dan Dibolehkan Sekolah Tatap Muka?

12 Agustus 2020   10:00 Diperbarui: 12 Agustus 2020   10:04 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com

Yang pasti saja dilanggar, apalagi yang opsi.

(Supartono JW.12082020)

Sejatinya, begitu saya tahu Mas Nadiem menerbitkan Kurikulum Darurat yang ternyata isinya tiga opsi, saya yang juga sudah berkali-kali mengingatakan vital lahirnya Kurikulum Darurat lewat artikel yang saya tulis, jadi bingung. 

Mengapa Kurikulum Darurat berisi tiga opsi dan di dalam praktiknya setiap sekolah dan guru boleh memilih mau melaksanakan KBM dengan opsi Kurikulum yang mana. Lebih bingung lagi, kondisi sangat darurat juga ada opsi sekolah bolah membuka KBM tatap muka, padahal taruhannya nyawa. Bagaimana mas Nadiem?

Gembar-gembor berbagai pihak dan ujungnya adanya tagihan dari Komisi X DPR RI menyoal lahirnya Kurikulum Darurat untuk kelangsungan pendidikan di Indonesia di tengah pandemi Covid-19, akhirnya diwujudkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia.

Kurikulum Daruarat itu diterbitkan berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. 

Kepmen yang diteken Nadiem Makarim pada 4 Agustus 2020 tersebut bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik sesuai kondisi Indonesia yang beragam dari berbagai segi.

Karenanya sekolah tidak harus menerapkan kurikulum darurat, sebab ada 3 opsi, yaitu: Tetap mengacu pada Kurikulum Nasional, Menggunakan kurikulum darurat; dan Melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. 

Jadi semua jenjang pendidikan pada kondisi khusus dapat memilih dari tiga opsi kurikulum tersebut seperti diungkap Nadiem Makarim dalam keterangan tertulis di situs Kemdikbud.

Sejatinya, begitu saya tahu Mas Nadiem menerbitkan Kurikulum Darurat yang ternyata isinya tiga opsi, saya yang juga sudah berkali-kali mengingatakan vital lahirnya Kurikulum Darurat lewat artikel yang saya tulis, jadi bingung. Mengapa Kurikulum Darurat berisi tiga opsi dan di dalam praktiknya setiap sekolah dan guru boleh memilih mau melaksanakan KBM dengan opsi Kurikulum yang mana. Mengapa saya bingung?

Sejak pandemi corona hadir, kebijakan penanganan corona saya sebut juga hanya diberikan opsi dalam bentuk kebijakan PSBB, dan dalam praktiknya, setiap daerah dipersilakan merumuskan teknis pelaksanaannya sendiri sesuai karakter dan kebutuhan daerah. Maka, hasilnya, corona justru tak terkendali, karena akhirnya tidak ada penanganan corona yang tegas dan seragam baik dari konten maupun waktu.

Lalu bila bicara Kurikulum Pendidikan di Indonesia, sejak negeri ini merdeka, sudah ada puluhan Mendikbud dan puluhan Jenis Kurikulum Pendidikan yang  hanya satu, tidak ada opsi, pelaksanaan di setiap daerah dan sekolah pun masih banyak yang bermasalah.

Mengapa dalam kondisi pandemi Kurikulum Darurat sangat dinanti? Sebab untuk memberikan kepastian alternatif kurikulum yang benar-benar darurat yang pelaksanaannya memang harus pasti, tegas, dan seragam, meski Indonesia "beragam".

Dengan terbitnya Kurikulum Darurat, namun isinya tiga opsi, maka saya sebut namanya bukan Kurikulum Darurat, tapi menjadi Kurikulum Opsi.

Lebih dari itu, dengan adanya tiga opsi, ditambah kebijakan ada daerah yang diizinkan melaksanakan KBM tatap muka dan masih harus tetap PJJ karena bedasarkan situasi zona corona, juga membuat pendidikan menjadi tidak pasti.

Dengan kondisi tersebut, jelas menjadikan pendidikan benar-benar menjadi tak berarah, padahal Kemendikbud seharusnya menerbitkan aturan pasti sesuai kondisi dan fakta yang ada.

Dari berbagai pendapat, masukan, saran, baik dari akademisi, praktisi, pengamat, dan para ahli kesehatan, kondisi Covid-19.yang terus membahayakan maka sangat jelas harapannya.

Demi memutus rantai penyebaran corona dan tidak lahir klaster baru corona di sekolah,  maka seharusnya aturannya tegas. KBM wajib dengan PJJ dan pembelajaran wajib dengan acuan Kurikulum Darurat yang seragam.

Sekolah, guru, dan masyarakat wajib patuh dengan PJJ dan Kurikulum Darurat, karena memang kondisinya sangat darurat. Bila diberikan opsi sekolah ada yang boleh tatap muka, maka taruhannya nyawa anak-anak dan guru serta perangkat sekolah meski daerahnya sudah terkategori zona hijau sekalipun. Finlandia, Prancis, Inggris, Korsel dll telah telah memberikan contoh kasus kepada kita.

Sementara masalah pembelajaran, karena memang darurat, maka semua satuan pendidikan wajib menggunakan Kurikulum Darurat sebagai acuan minimal dan standar. Persoalan pihak sekolah dan guru akan membuat dan menambah konten, ada aturan yang membolehkan. Namun, dasarnya semua wajib menggunakan Kurikilum Darurat.

Dengan demikian, tidak akan membuka kesempatan dan wacana bagi sekolah, guru, dan orang tua menjadi berdebat atas kemauan masing-masing. Sementara kita tahu, dengan aturan hukum yang pasti, rakyat tetap melanggar dan tidak patuh. 

Jangan sampai wilayah pendidikan ini aturan dan kebijakannya juga dibikin mencla-mencle seperti peraturan penanganan corona yang tidak pernah tegas dari pemerintah. Sekolah wajib PJJ, Kurikulum wajib Darurat. Tidak ada tawar-menawar.

Bila dalam praktiknya PJJ banyak masalah dan kendala, itu yang wajib disisir dan dicarikan solusinya, karena nyawa lebih penting dari pendidikan.  

Dari apa yang saya rasakan dan pikirkan itu sejak Mas Nadiem mengumumkan terbutnya Kurikulum Darurat pada 4 Agustus 2020, di media massa langsung mengemuka pro dan kontra. Lalu, menyoal tuntutan masyarakat dan beberapa pihak agar sekolah dilakukan dengan tatap muka, juga terus menjadi diskusi di layar televisi 

Namun bagi saya sangat jelas. Apa pun yang dibicarakan dan menjadi pro kontra dengan berbagai argumentasinya, dalam kondisi darurat corona, hanya satu pilihan yaitu paket pendidikan menggunakan Kurikulum Darurat dan PJJ. Titik.

Saat saya telusuri ragam pemberitaan baik di media cetak dan online, akhirnya saya temukan juga keresahan menyoal Kurikulum Darurat ini.

Saya kutip dari Detik.com, Selasa (11/8/2020), ternyata Kurikulum Darurat mengundang kebingungan bagi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Komisi X DPR.

Ketua PB PGRI Unifah Rosyidi dan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda angkat suara. Keduanya berpendapat 3 opsi yang ditawarkan Nadiem membingungkan.

Unifah mengungkapkan bahwa ketiga opsi itu justru akan mempersulit guru karena keinginan guru, sekolah, dan orang tua murid biasanya berbeda-beda.
Menurut dia, guru, sekolah, dan orang tua seharusnya diberi standar minimum kurikulum di era COVID-19.

Terlebih menurut Unifah yang terjadi saat ini adalah orang tua murid diperbolehkan memilih untuk masuk sekolah atau belajar dari rumah. Dengan begitu, gurulah yang akan dipersulit.

"Nah kalau disuruh memilih sama seperti sekarang, guru, anak anak boleh masuk sekolah, boleh nih kecuali ada izin ortu, nah ini sekarang satu sekolah ada yang di rumah ada yang di sekolah, gimana guru nggak ajar 24 jam? Kan menyulitkan, jadi yang namanya policy itu batas minimum yang mungkin semua orang bisa akses kelebihan dan kekurangannya yang menyesuaikan kondisi masing-masing," papar Unifah.

DPR: Tidak Match dengan Tipologi dan Karakter Masyarakat
Kebingungan juga dirasakan oleh pihak Komisi X DPR atas Kurikulum Darurat yang diterbitkan Nadiem.

Sementara menurut Saeful, harus jujur diakui memang ada karakter dan tipologi, namun jangan diberi banyak opsi. Meski kondisi setiap daerah berbeda, kurikulum darurat ini sebaiknya diterapkan secara serentak di seluruh kabupaten dan kota.

Dari dua pendapat tersebut, ternyata terbukti. Apa yang saya kawatirkan dengan diterbitkannya Kurikulum Darurat namun dengan opsi, malah jadi menambah masalah baru.

Terlepas dari masalah PJJ, tatap muka, dan kurikulum darurat beropsi, sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih berpendidikan rendah. Jadi, segala aturan dan kebijakan apa pun memang pelaksanaannya wajib tegas dan tegas juga hukumannya bagi yang melanggar.

Secara umum, di bawah kepemimpinan Jokowi, yang saya catat terlihat tegas itu, semisal penangkapan penjahat kelas teri dan penangkapan masyarakat yang "kritis" dan melawan pemerintah dll.

Jadi menyoal penanganan corona, sejak awal juga tidak tegas. Kini Nadiem ikutan mecla-mencle. Masyarakat butuh bantuan dan solusi. Bukan malah dikasih masalah.  

Maka, kehadiran negara dibutuhkan, kepastian-kepastian aturan juga wajib ditegakkan. Ini NKRI, maka segala aturan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka negara mengatur, bukan rakyat yang malah disuruh bikin aturan sendiri-sendiri. Bingung dan kehilangan arah. 

Kalau hanya mendelegasikan lalu menyuruh rakyat memilih kebijakannya sendiri, sama saja tidak ada Kemendikbud dong. Bagaiamana Mas Nadiem. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun