Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mana Lebih Sulit, Bertopeng Menjadi Orang Lain, atau Menjadi Diri Sendiri?

10 Agustus 2020   13:11 Diperbarui: 10 Agustus 2020   13:33 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Supartono JW

Di sekitar kita banyak yang bertopeng, meski tanpa topeng. (Supartono JW.10082020)

Bila para pemimpin daerah, elite partai di parlemen dan pemerintahan, tidak akan memiliki beban dan tanggungjawab kepada partai yang mengusungnya, yakin, pasti mereka akan menjalankan fungsi dan tugasnya dengan menjadi diri sendiri dan amanah untuk rakyat tanpa beban dan tuntutan di belakang layar yang rakyat tidak ketahui.

Bagi masyarakat umum, mengapa banyak yang berupaya untuk menjadi orang lain? Bukan menjadi diri sendiri? Demi dipandang, demi pengakuan, gengsi, meski harus memaksakan dan menyiksa diri. Inilah potret negara berkembang bernama Indonesia, yang tingkat pendidikannya juga masih terus tertinggal, tapi rakyat dan pemimpinnya ada yang terpaksa bertopeng atau berebut memakai topeng. Bukan menjadi dirinya sendiri.

 
Dalam kehidupan tak nyata, panggung sandiwara, baik yang dipertontonkan dalam wujud gambar (film) dan panggung (drama), seorang aktor/aktris memiliki tugas memerankah tokoh sesuai karakter yang ada dalam skenario cerita.

Bahkan demi tuntutan peran, seorang aktor/aktris bahkan harus melakukan studi pemeranan dengan kehidupan nyata dan mempelajari peranan dan karakter yang akan dimainkan sesuai fakta. Bukan hanya mendalami karakter tokoh, namun secara fisik (umur, penampilan, gaya, bahasa tubuh, bahasa lisan dll), juga disesuaikan dengan tuntutan peranan.

Prinsipnya, sebelum seorang aktor/aktris memerankan tokoh dalam layar kaca atau panggung drama, maka bekal karakter sudah wajib menyatu dalam tubuh dan pikiran aktor/aktris, lalu menjalani proses latihan yang diarahkan sutradara, dan eksekusi pemeranan saat pengambilan gambar atau pertunjukkan di panggung.

Meski demikian, tidak semua aktor/aktris berhasil memainkan peranan sesuai tuntutan naskah maupun arahan sutradara bila saat melakukan adegan tidak total.

Seorang aktor/aktris yang sudah ditunjuk sutradara untuk memerankan tokoh, maka dapat digaransi, kemampuan akting aktor/aktris tersebut mumpuni. Aktor/aktris yang mumpuni, profesional, biasanya dasarnya berbakat dan ditunjang oleh pendalaman peran, latihan dan latihan, serta topangan dari aktor/aktris lain sebagai lawan bermain. Tidak instan.

Jadi, banyak faktor yang wajib dilalui oleh seorang aktor/aktris sebelum sukses memainkan karakter dalam pemeranan film atau drama. Yang pasti, saat berperan, mereka tidak lagi menjadi diri sendiri. Sudah menjadi karakter lain, menjadi sosok lain, menjadi orang lain. Bila, dalam sinetron kita tak dapat membedakan seorang artis dalam judul berbeda, namun karakter dan cara memainkannya sama saja, maaf, itu bukan aktor/aktris dalam kategori yang sedang saya bahas. Sebab, apapun yang diperankan, dalam judul yang berbeda, semua aktingnya sama saja, hanya membawa dirinya sendiri, tidak masuk dalam tokoh yang seharusnya.

Sekarang juga banyak aktor/aktris karbitan yang bermunculan dengan berbagai latar belakang. Ada yang sebab karena anak atau keturunan dari aktor/aktris terkenal, tapi sejatinya tak berbakat. Ada yang hanya jual "tampang" demi keuntungan produser, ada yang pesanan, dll. Sehingga praktik KKN dalam dunia aktor/aktris ini juga terjadi dengan tujuan yang beragam sampai ada aktor yang dengan bangga menyebut dirinya sultan sampai stasiun televisi pun membikinkan acaranya. Baik aktor dan televisinya, jelas apa tujuan yang dicari.

Itulah sedikit gambaran menyoal aktor/aktris dalam dunia layar kaca, layar lebar, dan panggung drama di dunia ini. Semua aktor dan aktris dibayar untuk memerankan tokoh menjadi orang lain, bukan dirinya sendiri, menjadi palsu.

Bagaimana dengan kehidupan nyata khususnya di Indonesia dengan manusianya sebagai aktor/aktris asli yang seharusnya memerankah tokoh sebagai dirinya sendiri?

Siapa di negeri ini aktor/aktris asli yang sewajibnya menjadi contoh, panutan, dan teladan bagi rakyat karena benar-benar memerankan karakter dirinya sendiri?

Saya bilang, sekarang sangat sulit, bahkan mustahil dapat kita temukan para elite partai yang duduk di parlemen, pemerintahan, kepala daerah, dan pejabat-pejabat di pemerintahan NKRI yang benar-benar memerankan tokoh sebagai dirinya sesuai fungsi dan tugas jabatannya, yang seharusnya amanah untuk rakyat.

Siapa pun yang sekarang berani masuk dalam lingkaran partai politik di Indonesia, maka setelah mendapat suara dari rakyat karena janji-janjinya, akan langsung berbalik menjadi aktor/aktris partai yang menaungi dan akan memerankan tugas mengabdi kepada cukong/taipan yang mendanai.

Lupa janji, lupa daratan, dan menjadi aktor/aktris palsu yang aktingnya melebihi profesionalitas para aktor/aktris di dunia hiburan.

Menjadi elite partai politik, sama saja wajib mumpuni dalam ilmu KKN dan akting tingkat tinggi. Salain harus akting demi melayani dan memuaskan "junjungannya", mereka juga harus mengumpulkan pundi-pundi demi mengembalikan modal duduk di kursi yang anggarannya tinggi, hingga adegan dan skenario korupsi adalah tradisi. Karena hanya dengan cara itulah, modal dapat segera kembali secara instan.

Sebegitu vitalnya program korupsi itu, maka skenarionya pun di atur dari hulu ke hilir. Muncullah skenario lahirnya Undang-Undang untuk  melindungi program korupsi ini.

Ibarat terjerat hutang rentenair. Para elite partai politik dan partainya juga demikian, kini sedang terjerat "hutang" dari yang "membiayai".

Pertanyaannya, lembaga semacam Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Polri, TNI, dll juga tidak menjadi bagian dari skenario aktor/aktris yang bukan sebenarnya ini? Yang setali tiga uang dengan parlemen dan pemerintah? Rakyat pun sudah dapat membaca kondisi ini.

Karenanya, tidak salah bila kini, rakyat biasa pun banyak yang berupaya dan berlomba-lomba menjadi aktor/aktris palsu, yang memerankan tokoh bukan dirinya.

Ada orang kaya, tapi bijak dan rendah hati, penampilan dan gaya hidupnya malah biasa saja dan sangat berderma dan perhatian pada lingkungan dan masyarakat sekitar.

Tapi sebaliknya, banyak rakyat biasa dikalangan menengah, yang gaya hidupnya malah dipaksakan agar dipandang. Kelompok inilah yang kebanyakan menjadi bermental Orang Kaya Baru (OKB) di negeri ini. Begitupun rakyat miskin, sebab selama hidupnya penuh derita, ada yang langsung tak dapat mengontrol emosi dengan ikutan memaksakan diri seperti golongan masyarakat menengah. Intinya, mereka jadi tidak memerankan sebagai dirinya sendiri.

Apakah pendidikan dan kecerdasan berpengaruh dalam masalah semua lapisan masyarakat dari elite partai.sampai rakyat biasa? Jelas sangat signifikan pengaruhnya.

Deskripsi simpelnya dapat saya sebut, ada kelompok masyarakat yang sekarang bertanya,
1. Hari ini masih bisa makan atau tidak?
2. Hari ini mau makan di mana?
3. Hari ini makan apa dan siapa?

Kelompok 1, adalah masyarakat yang masih banyak belum mengenyam pendidikan, miskin, menderita. Kelompok 2, adalah masyarakat yang sudah mengenyam pendidikan, mapan, sudah mulai banyak yang miskin hati. Dan, kelompok 3, masyarakat yang berpendidikan dan memanfaatkannya untuk kepentingan diri dan kelompoknya, miskin hati dan pikiranngya malah lebih banyak untuk "akting" dan "makan orang lain".

Kesimpulannya, semisal para pemimpin daerah, elite partai di parlemen dan pemerintahan, tidak akan memiliki beban dan tanggungjawab kepada partai yang mengusungnya, yakin, pasti mereka akan menjalankan fungsi dan tugasnya dengan menjadi diri sendiri dan amanah untuk rakyat tanpa beban dan tuntutan di belakang layar yang rakyat tidak ketahui.

Bagi masyarakat umum, mengapa banyak yang berupaya untuk menjadi orang lain? Bukan menjadi diri sendiri? Demi dipandang, demi pengakuan, gengsi, meski harus memaksakan dan menyiksa diri. Inilah potret negara berkembang bernama Indonesia, yang tingkat pendidikannya juga masih terus tertinggal, tapi rakyat dan pemimpinnya ada yang terpaksa bertopeng atau berebut memakai topeng. Bukan menjadi dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun