Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mengetuk Hati Orangtua SSB

9 April 2020   17:12 Diperbarui: 9 April 2020   17:15 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Supartono JW

Imbas covid 19 terhadap dunia olah raga, khususnya sepak bola, menghantam seluruh dunia. Berbagai klub di masing-masing federasi sepak bola manca negara pun ramai-ramai mengambil kebijakan memotong gaji sebagai salah satu solusi yang paling signifikan. 

Demikian pula dengan klub Liga 1 dan Liga 2 di Indonesia yang kini kesulitan membayar uang muka kontrak dan gaji pelatih, pemain, dan ofisial (PPO) karena keuangan klub sangat mengandalkan dana dari sponsor, subsidi PT LIB dan uang tiket suporter. 

Bila pemotongan gaji PPO di sepak bola manca negara ada yang kisarannya 30 persen, pemotongan gaji PPO di Liga Indonesia bahkan sampai 75 persen. Namun, baik di manca negara maupun di Indonesia, kebijakan memotong gaji PPO ini ternyata keputusannya sama-sama dilakukan dengan cara sepihak, yaitu berdasarkan rekomendasi federasi dan kebijakan klub sendiri tanpa ada negoisasi dengan PPO. 

Melihat presentase pemotongan di manca negara dan di Indonesia, dapat dimahfumi. Sesuai status dan keberadaannya, maka klub-klub di manca negara ternyata hanya memotong gaji 30 persen, itupun tetap di protes oleh PPO. Tetapi, di klub Indonesia, pemotongan gaji PPO hingga 75 persen. 

Terang saja sebagian besar PPO klub Liga 1 dan Liga 2 melakukan protes termasuk Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) juga ikut bersuara. 

Khusus untuk pemotongan gaji PPO klub Indonesia, membayar 25 persen gaji PPO saja, masih akan banyak klub yang kesulitan karena sponsor meninggalkan klub, subsidi PT LIB juga tersendat, dan uang tiket suporter ambyar. 

Karena itu, membayar 25 persen saja tentu banyak klub yang tetap akan kesulitan, meski APPI dan para PPO klub  Liga 1 dan Liga 2 akan melakukan protes, sebab begitulah kenyataan kondisi finansial klub-klub liga Indonesia. 

Bagaimana SSB? 

Bila Klub Liga 1 dan Liga 2 dapat dihitung dengan jari. Sementara klub Liga 3 masih belum bergerak, bagaimana dengan sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) yang masih dikelola oleh Sekolah Sepak Bola (SSB) di Indonesia, menyoal pembiayaan manajemennya? 

Hampir seluruh SSB di Indonesia dilahirkan secara mandiri dan rata-rata didirikan oleh perorangan maupun kelompok. Namun, SSB boleh dikatakan hampir tak pernah merasakan adanya subsidi dan bantuan anggaran dari pihak lain.

Bila ada SSB yang jerseynya tertempel logo sponsor, dan melakukan kerjasama secara profesional, dapat dihitung dengan jari. Pun ada SSB yang jerseynya tertempel logo sponsor atas bantuan dan orangtua murid karena putra/putrinya menjadi siswa di SSB bersangkutan. Lalu, ada juga SSB yang didirikan oleh sebuah institusi/instansi, namun juga dapat dihitung dengan jari. Selebihnya, rata-rata semua SSB di Indonesia berdiri dan berjibaku dari anggaran dari orangtua siswa plus subsidi dari pendiri/pemiliknya.

Di banding sebuah klub, untuk  pembiayaan manajemen SSB memang lebih sederhana, yaitu rata-rata utamanya untuk biaya operasional seperti sewa lapangan, sarana dan prasarana latihan, dan biaya untuk transport/honor/gaji pelatih dan ofisial/manajemen. 

Hingga kini, masih banyak SSB yang sangat tergantung dari iuran siswa. Namun, sering kali iuran siswa pun juga masih kurang dapat diandalkan. Sebab, banyak orang tua SSB yang merasa anaknya sudah jago bermain bola, maka bila ada SSB yang menawari anaknya bermain gratis, maka sudah tentu, orangtua akan memindahkan anaknya ke SSB yang menggratiskan tanpa berpikir, siapa SSB yang awalnya membina anaknya. 

Banyak pula orangtua yang merasa sudah membayar iuran bulanan, meski setiap ke lapangan selalu menggunakan mobil, namun membantu SSB yang kesulitan anggaran sebagai donasi saja, tak tergerak, apalagi diminta bantuan menjadi sponsor. 

Sementara banyak pula SSB yang menampung siswa dari kalangan yang orangtuanya tidak mampu. Ujungnya, pendiri/pemilik SSB pun harus berjibaku, menutup kekurangan anggaran operasional setiap bulannya dalam kondisi normal. 

Kini saat pandemi corona, tanpa ada aktivitas latihan sejak pemerintah meliburkan semua kegiatan, tetap ada orangtua SSB yang berkontribusi membayar iuran. Tetapi masih banyak pula orangtua SSB yang tidak berkontribusi membantu SSB.

Padahal demi kelangsungan kegiatan SSB sesuai wabah corona, SSB tetap berkewajiban membayar biaya sewa lapangan dan biaya transpor/honor/gaji pelatih dan ofisial meski juga dengan pemotongan presentasi. 

Semisal, sewa lapangan menjadi sekedar biaya administrasi. Kemudian, SSB yang melakukan kontrak resmi dengan pelatih/ofisial, juga tetap harus membayar, meski prisentasenya dikurangi atas kesepakatan kedua belah pihak.

Bagi SSB yang melakukan kerjasama dengan pelatih/ofisial secara kekeluargaan, dan selama ini membayar transport/honor pelatih per kehadiran pun, tetap dapat memberikan kompensasi sederhana, bila para orangtua siswa tetap membayar kewajibannya.

Namun, dengan situasi seperti sekarang ini, menjadi hal yang menguntungkan pula bagi orangtua untuk menghindar dari kewajibannya, terlebih SSB masih menjadi wadah kegiatan non-formal. 

Kita ketahui, di Jabodetabek saja, ada ratusan SSB yang secara resmi sudah terdaftar di masing-masing Askot/Askab PSSI sesuai wilayahnya, dan ada ribuan SSB di seluruh Indonesia yang tersebar di setiap Kota/Kabupaten di setiap provinsi. 

Bila di hitung, ada berapa ribu pelatih dan ofisial/manajemen SSB di seluruh Indonesia yang juga terkena imbas tidak mendapatkan haknya. Terlebih, SSB sebagai usaha sektor informal, banyak menjadi gantungan hidup bagi para pelatih/ofisial, karena tidak ada usaha atau pekerjaan lainnya. 

Saya memahami semua masyarakat Indonesia, mau kaya dan miskin, semua terkena imbas dari pandemi corona ini. Namun, lewat artikel ini, bagi orangtua yang belum tergerak hatinya, saya berharap para orangtua yang menyekolahkan putra/putrinya di SSB, mohon tetap membantu membayar iuran bulanan putra/putrinya. 

Syukur-syukur dapat pula menjadi donasi bagi SSB nya demi membantu manajemen SSB yang tetap memiliki kewajiban kepada pihak lain sejak bulan Maret, April, dan seterusnya hingga pandemi virus corona usai di Indonesia dan dunia, terlebih menjelang bulan ramadhan dan Idul Fitri. 

Semoga, semua orangtua SSB di seluruh Indonesia tergerak dan tetap membantu SSB nya di tengah situasi musibah ini. Semoga seluruh keluarga besar SSB di Indonesia tetap sehat dan berkah sebagai ujung tombak dari kawah candradimukanya calon-calon pemain sepak bola nasional handal di masa depan. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun