Imbas covid 19 terhadap dunia olah raga, khususnya sepak bola, menghantam seluruh dunia. Berbagai klub di masing-masing federasi sepak bola manca negara pun ramai-ramai mengambil kebijakan memotong gaji sebagai salah satu solusi yang paling signifikan.Â
Demikian pula dengan klub Liga 1 dan Liga 2 di Indonesia yang kini kesulitan membayar uang muka kontrak dan gaji pelatih, pemain, dan ofisial (PPO) karena keuangan klub sangat mengandalkan dana dari sponsor, subsidi PT LIB dan uang tiket suporter.Â
Bila pemotongan gaji PPO di sepak bola manca negara ada yang kisarannya 30 persen, pemotongan gaji PPO di Liga Indonesia bahkan sampai 75 persen. Namun, baik di manca negara maupun di Indonesia, kebijakan memotong gaji PPO ini ternyata keputusannya sama-sama dilakukan dengan cara sepihak, yaitu berdasarkan rekomendasi federasi dan kebijakan klub sendiri tanpa ada negoisasi dengan PPO.Â
Melihat presentase pemotongan di manca negara dan di Indonesia, dapat dimahfumi. Sesuai status dan keberadaannya, maka klub-klub di manca negara ternyata hanya memotong gaji 30 persen, itupun tetap di protes oleh PPO. Tetapi, di klub Indonesia, pemotongan gaji PPO hingga 75 persen.Â
Terang saja sebagian besar PPO klub Liga 1 dan Liga 2 melakukan protes termasuk Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) juga ikut bersuara.Â
Khusus untuk pemotongan gaji PPO klub Indonesia, membayar 25 persen gaji PPO saja, masih akan banyak klub yang kesulitan karena sponsor meninggalkan klub, subsidi PT LIB juga tersendat, dan uang tiket suporter ambyar.Â
Karena itu, membayar 25 persen saja tentu banyak klub yang tetap akan kesulitan, meski APPI dan para PPO klub  Liga 1 dan Liga 2 akan melakukan protes, sebab begitulah kenyataan kondisi finansial klub-klub liga Indonesia.Â
Bagaimana SSB?Â
Bila Klub Liga 1 dan Liga 2 dapat dihitung dengan jari. Sementara klub Liga 3 masih belum bergerak, bagaimana dengan sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) yang masih dikelola oleh Sekolah Sepak Bola (SSB) di Indonesia, menyoal pembiayaan manajemennya?Â
Hampir seluruh SSB di Indonesia dilahirkan secara mandiri dan rata-rata didirikan oleh perorangan maupun kelompok. Namun, SSB boleh dikatakan hampir tak pernah merasakan adanya subsidi dan bantuan anggaran dari pihak lain.
Bila ada SSB yang jerseynya tertempel logo sponsor, dan melakukan kerjasama secara profesional, dapat dihitung dengan jari. Pun ada SSB yang jerseynya tertempel logo sponsor atas bantuan dan orangtua murid karena putra/putrinya menjadi siswa di SSB bersangkutan. Lalu, ada juga SSB yang didirikan oleh sebuah institusi/instansi, namun juga dapat dihitung dengan jari. Selebihnya, rata-rata semua SSB di Indonesia berdiri dan berjibaku dari anggaran dari orangtua siswa plus subsidi dari pendiri/pemiliknya.