Di banding sebuah klub, untuk  pembiayaan manajemen SSB memang lebih sederhana, yaitu rata-rata utamanya untuk biaya operasional seperti sewa lapangan, sarana dan prasarana latihan, dan biaya untuk transport/honor/gaji pelatih dan ofisial/manajemen.Â
Hingga kini, masih banyak SSB yang sangat tergantung dari iuran siswa. Namun, sering kali iuran siswa pun juga masih kurang dapat diandalkan. Sebab, banyak orang tua SSB yang merasa anaknya sudah jago bermain bola, maka bila ada SSB yang menawari anaknya bermain gratis, maka sudah tentu, orangtua akan memindahkan anaknya ke SSB yang menggratiskan tanpa berpikir, siapa SSB yang awalnya membina anaknya.Â
Banyak pula orangtua yang merasa sudah membayar iuran bulanan, meski setiap ke lapangan selalu menggunakan mobil, namun membantu SSB yang kesulitan anggaran sebagai donasi saja, tak tergerak, apalagi diminta bantuan menjadi sponsor.Â
Sementara banyak pula SSB yang menampung siswa dari kalangan yang orangtuanya tidak mampu. Ujungnya, pendiri/pemilik SSB pun harus berjibaku, menutup kekurangan anggaran operasional setiap bulannya dalam kondisi normal.Â
Kini saat pandemi corona, tanpa ada aktivitas latihan sejak pemerintah meliburkan semua kegiatan, tetap ada orangtua SSB yang berkontribusi membayar iuran. Tetapi masih banyak pula orangtua SSB yang tidak berkontribusi membantu SSB.
Padahal demi kelangsungan kegiatan SSB sesuai wabah corona, SSB tetap berkewajiban membayar biaya sewa lapangan dan biaya transpor/honor/gaji pelatih dan ofisial meski juga dengan pemotongan presentasi.Â
Semisal, sewa lapangan menjadi sekedar biaya administrasi. Kemudian, SSB yang melakukan kontrak resmi dengan pelatih/ofisial, juga tetap harus membayar, meski prisentasenya dikurangi atas kesepakatan kedua belah pihak.
Bagi SSB yang melakukan kerjasama dengan pelatih/ofisial secara kekeluargaan, dan selama ini membayar transport/honor pelatih per kehadiran pun, tetap dapat memberikan kompensasi sederhana, bila para orangtua siswa tetap membayar kewajibannya.
Namun, dengan situasi seperti sekarang ini, menjadi hal yang menguntungkan pula bagi orangtua untuk menghindar dari kewajibannya, terlebih SSB masih menjadi wadah kegiatan non-formal.Â
Kita ketahui, di Jabodetabek saja, ada ratusan SSB yang secara resmi sudah terdaftar di masing-masing Askot/Askab PSSI sesuai wilayahnya, dan ada ribuan SSB di seluruh Indonesia yang tersebar di setiap Kota/Kabupaten di setiap provinsi.Â
Bila di hitung, ada berapa ribu pelatih dan ofisial/manajemen SSB di seluruh Indonesia yang juga terkena imbas tidak mendapatkan haknya. Terlebih, SSB sebagai usaha sektor informal, banyak menjadi gantungan hidup bagi para pelatih/ofisial, karena tidak ada usaha atau pekerjaan lainnya.Â