Paradigma inilah yang terus menjadi "racun" bagi ketangguhan timnas Indonesia (jauh dari "cerdas") dan banyaknya mantan pesepak bola atau pesepak bola yang masih di usia produktif, menjadi "pengangguran".Â
Sebab, tanpa didasari oleh ilmu-ilmu dari sekolah formal, pesepak bola akhirnya lemah kecerdasan, tanpa disadari. Memilih fokus sepak bola di masa muda dan usai produktif, secara otomatis menutup diri dari berbagai kesempatan pekerjaan di luar sepak bola, karena tak memiliki "modal" keahlian dan ijazah formal.Â
Namun begitu, pesona, dan daya tarik permainan sepak bola, tetap saja membius "mereka". Bahkan sepak bola adalah "candu" (ketagihan) bagi para pemain.Â
Lebih dari itu, sepak bola adalah candu bagi para pengurus PSSI, klub, wasit, voter PSSI, hingga para mafia, karena sepak bola dapat dijadikan berbagai "alat" dan "kendaraan" mereka untuk menjadi mesin uang dengan menghalalkan segala cara.
Begitulah ironi sepak bola Indonesia sepanjang masa, makanya timnas senior sulit berprestasi.Â
Apakah hadirnya Shin Tae-yong akan berpengaruh, semudah membalik telapak tangan, dengan mendobrak paradigma "jadul" mimpi orangtua dan anak usia muda yang bermimpi dan merangsek memaksakan diri berupaya menjadi pemain nasional yang kursinya terbatas?
Setelah pensiun menjadi pesepak bola, lapangan kerja juga terbatas?