Fakta lain, menjamurnya pembinaan sepak bola akar rumput di SSB, ASB, DSB, dan sebagainya, juga membawa euforia tersendiri bagi para pembina, pelatih, orangtua, dan pemain untuk bermimpi masuk timnas Indonesia yang memberikan kursi hanya untuk puluhan pemain saja.Â
Namun, "mereka" juga tak patah arang. Tak masuk timnas tak apa, syukur-syukur masuk klub liga 1 kelompok umur hingga senior. Kalau tidak masuk, syukur-syukur masih bisa terpilih di klub Liga 2. Bila tak terpilih juga, semoga ada klub liga 3 yang mau menggunakan jasanya.Â
Apesnya, jutaan anak usia muda Indonesia yang bercita-cita menjadi pemain timnas atau klub profesional sebagai garansi kehidupannya selama ini, ternyata tak tercapai.Â
Padahal sudah mengorbankan berbagai hal, termasuk meninggalkan bangku sekolah formal, melanglang buana ke berbagai SSB/ASB/DSB di berbagai daerah Indonesia, hingga ke luar negeri. Namun ujungnya tak menjadi pemain di klub mana-mana karena terbatasnya kuota dan kerasnya persaingan.Â
Itu semua adalah sebagian kecil dari hal-hal yang dilihat dari fenomena mimpi dan cita-cita anak usia muda Indonesia yang memilih sepak bola sebagai pilihan hidupnya.Â
Fakta berikutnya, coba kita lihat, bagaimana kehidupan mantan pemain sepak bola Indonesia di kasta yang paling bergengsi, yaitu timnas dan Liga 1, setelah usia tak lagi memungkinkan dan kemampuan juga sudah kalah bersaing.Â
Yang tidak "menyiapkan diri" dengan bidang lain di luar sepak bola, tentu akan berkutat hidup dari sepak bola, semisal turun menjadi pelatih.Â
Tetapi, lagi-lagi, jangankan menjadi pelatih nasional atau klub, yang jumlahnya terbatas, menjadi pelatih SSB/ASB/DSB dan sejenisnya saja belum tentu diterima karena mantan pesepak bola yang sudah "tak laku" menjadi pemain, jumlahnya juga cukup banyak.Â
Bagi mantan pesepak bola yang akhirnya menjadi pelatih klub/SSB/ASB/DSB dan sejenisnya, bila tak memiliki sumber di kehidupan lain, tentu akan "keteter" juga dalam soal ekonomi.Â
Begitulah kisah yang nyata dari risiko memilih dan bercita-cita menjadi pemain sepak bola murni di Indonesia, hingga kini, tanpa ada embel-embel sumber mata pencaharian lain.Â
Sementara, hingga kini juga, paradigma anak dan orangtua masih tak berubah, bahwa untuk menjadi pemain sepak bola tak perlu sekolah atau belajar.Â