Saya mendukung penuh sikap Fakhri Husaini menolak tawaran PSSI untuk duduk hanya sebagai asisten pelatih Sin Tae-yong di Timnas U-20.Â
Sejatinya, saya e tak sepenuhnya sependapat bila PSSI harus memercayakan Tae-yong mengampu tiga Timnas sekaligus. Seharusnya, PSSI konsen menaikkan "harga diri" sepak bola nasional yang tanggungjawabnya ada timnas senior yang sudah jelas selama ini nir prestasi.Â
Akibat nir prestasi ini, ranking FIFA Indonesia pun terjun bebas. Tak mencerminkan sebagai negara besar yang hanya menjadi pecundang dan dikangkangi negara-negara lain di Asia Tenggara dan negara-negara kecil lainnya di dunia.Â
Bila PSSi akhirnya harus memilih Sin Tae-yong, kendati Tae-yong berjanji akan mengangkat derajat sepak bola nasional, dan latar belakangnya cukup mentereng karena sukses membesut beberapa kelompok timnas Korea Selatan, itu baru janji.Â
Tae-yong berhasil "mengelola" beberapa kelompok timnas Korea Selatan, itu karena Sumber Daya Manusia (SDM) pemain Korea Selatan, dalam hal sepak bola sudah memenuhi keseluruhan aspek standar pemain kelas dunia.Â
Dari kelompok pemain usia muda hingga senior, seluruh pemain yang berhasil menembus timnas Korea Selatan, dapat dipastikan memiliki standar nilai rapor teknik, intelegensi, personaliti, dan speed (TIPS) rata-rata minimal 8.Â
Dalam sepak bola modern dan dasar untuk berprestasi, di semua negara lain, pemain sepak bola sudah bukan lagi hanya mengandalkan otot dan bakat. Namun utamanya adalah kecerdasan intelegensi dan personaliti.Â
Seluruh pemain Korea Selatan, yang masuk timnas, tak akan ada yang diragukan dalam hal kecakapan intelgensi dan personalti, sehingga, Tae-yong sangat terbantu dengan kondisi yang ada.Â
Tetapi fakta terpenting, dalam prestasi ajang Piala Dunia, timnas Korea Selatan di bawah asuhan Tae-yong juga sulit menembus babak fase gugur. Selalu terhenti di fase grup.Â
Jadi bila PSSI bermimpi mengubah nasib sepak bola nasional dengan berkaca kepada timnas Vietnam yang berhasil di asuh oleh pelatih dari Korea Selatan juga, PSSI juga salah.Â
Standar pemain Vietnam untuk masuk timnas, juga setali tiga uang dengan pemain Korea Selatan, wajib memiliki nilai rapor tinggi dalam TIPS. Terutama tentang Intelegensi dan personaliti juga menjadi aspek utama.Â
Sehingga, pelatih juga mudah menakodai timnas karena SDM pemain mumpuni.Â
Sudah terbukti pula bahwa sederet pelatih asing yang dikontrak PSSI, sepanjang PSSI lahir, baru satu pelatih asing yang mengantar timnas meraih tropi. Itupun hanya dalam ajang SEA Games yang bukan kalender resmi FIFA.Â
Dikontraknya Tae-yong, sejatinya juga sebuah "perjudian" lagi. Terlebih, sudah jelas bahwa Tae-yong akan mengampu dan menakodai pemain-pemain yang kini ada, dan secara fakta, publik sepak bola nasional saja sudah sangat paham tentang standar TIPS setiap pemain.Â
Tae-yong yang mengampu timnas Korea Selatan yang nilai TIPS SDMnya standar dunia saja, sulit menembus fase gugur di ajang Piala Dunia.Â
Bagaimana Tae-yong akan mengampu timnas Merah-Putih yang TIPS SDM pemainnya juga sudah teridentifikasi oleh publik sepak bola nasional?Â
Dengan kondisi ini, seharusnya PSSI berkonsentrasi saja, memercayakan Tae-yong untuk memegang timnas senior dan U-23, agar fokus.Â
Jangan bermimpi dulu Tae-yong yang dikontrak empat tahun dengan opsi perpanjangan, akan menjadi dewa keberkahan prestasi Timnas. Dalam kondisi timnas yang terpuruk di ranking FIFA, maka tugas Tae-yong harusnya fokus di timnas senior, dan dalam empat tahun, tugasnya sebelum meraih tropi, minimal timnas senior bangkit, banyak memenangi lagi yang terafiliasi FIFA, sehingga poin bertambah dan secara signifikan, ranking FIFA akan merangkak naik.Â
Pertanyaannya, dengan memercayakan timnas U-20 juga di asuh Tae-yong, yang TIPS SDM pemain U-20 berakar dari pemain timnas U-19, meski Indonesia nantinya tuan rumah Piala Dunia U-20, dapat membawa timnas U-20 juara dunia?Â
Sementara pengalaman Tae-yong dalam mengelola timnas U-20 Korea Selatan yang TIPS SDM-nya jauh dari pemain timnas U-19 kita, hanya beraksi di fase grup, tak menembus fase gugur. Itu, Korea Selatan, lho?Â
Hemat saya, Tae-yong juga pasti akan sulit membawa timnas U-20 Indonesia menembus fase gugur di Piala Dunia nanti, bila ditilik secara perhitungan matematis serta akal sehat dan cerdas.Â
Seharusnya, Tae-yong fokus di timnas senior saja dan timnas U-23, dan bila PSSI telah menunjuk Indra dan Nova menjadi bagian Timnas tersebut, publik sepak bola nasional juga mendukung.Â
Namun, untuk timnas U-20, saya menyayangkan, mengapa harus diampu juga oleh Tae-yong dengan berbagai pertimbangan matematis yang sudah saya ungkap.Â
Karenanya, sikap Fakhri Husaini menolak hanya dijadikan asisten Tae-yong di timnas U-20 jelas sebuah "pelecehan" profesi anak bangsa sendiri.Â
Korea Selatan saja dalam ajang Piala Dunia memercayakan Tae-yong yang anak asli Korea Selatan, membesut timnas mereka.Â
Sama dengan kondisi Tae-yong yang dipercaya federasi sepak bola Korea Selatan, seharusnya dengan sederet prestasi Fakhri dalam membesut timnas kelompok umur tersebut, hingga meloloskan timnas U-19 ke Piala Asia, bukanlah prestasi yang main-main sebagai SDM asli anak bangsa.Â
Atas fakta yang kini terjadi, bahwa demi harga diri, Fakhri menolak didudukkan sebagai asisten Tae-yong di timnas U-19/20, adalah sikap "patriot," jauh dari aji mumpung dan memanfaatkan keadaan.
Dalam kondisi ini, maaf, saya juga menyebut, ternyata TIPS SDM pengurus PSSI setali tiga uang dengan para calon pemain timnas senior Indonesia yang ada.Â
Ketika Fakhri menolak dengan alasan tegas karena "harga diri" sebab memang sudah mengabdi dan berjuang memberi prestasi, maka sikap Fakhri dapat dijadikan contoh oleh pelatih lokal Indonesia.Â
Fakhri yang saya sebut sebagai mantan pemain nasional yang memiliki TIPS di atas standar umumnya pemain Indonesia, lalu signifikan pula jabatan pekerjaan tetapnya di perusahaan yang juga milik negara, maka Fakhri jelas memiliki posisi tawar dan harga diri.Â
Tak menjadi pelatih nasional pun, Fakhri tidak makan dari sepak bola. Bagaimana dengan para pelatih dan pemain sepak bola lain Indonesia yang hingga kini hanya hidup dan mencari makan dari sepak bola?Â
Tentu tak akan bertindak tegas dan idealis seperti Fakhri. Bukan begitu bukan?Â
Sikap dan prestasi Fakhri antara sepak bola sebagai hobi sekaligus profesi, namun juga bekerja di luar sepak bola bahkan sudah menduduki jabatan tinggi sebagai karyawan di Pupuk Kaltim, harus membuka mata anak-anak Indonesia dan para orang tuanya.Â
Jabatan tinggi sebagai karyawan di sebuah BUMN, apakah semudah membalik telapak tangan. Tentu di dalamya ada perjuangan dan "pendidikan formal" menyoal pekerjaan profesional-nya.Â
Terlebih sepanjang memegang timnas kelompok umur, yang saya catat dari sikap yang sangat jarang dimiliki pelatih asli Indonesia adalah menyoal program latihan timnas yang disesuaikan dengan program atau kalender akademik pemain di sekolah formal.Â
Ini harus dicatat oleh PSSI, para pemilik klub, para pembina dan pelatih khususnya sepak bola akar rumput dan para orang tua yang ingin anaknya menjadi pemain nasional. "Fakhri tidak mau pendidikan formal anak asuhnya terlantar!"Â
Maka, Fakhri pun menyesuaikan dengan program sekolah. Sikap Fakhri jelas, memberikan petunjuk bahwa jangan ada lagi paradigma menjadi atlet atau pemain sepak bola tidak perlu sekolah formal.Â
Sekolah formal adalah pondasi menuju SDM cerdas intelegensi dan personaliti yang vital dibutuhkan dalam sepak bola modern. Bagaimana pak Presiden, Menpora, Mendikbud? SDM PSSI juga masih dipertanyakan?Â
Tak berlebihan rasanya, bila sikap dan keputusan Fakhri saya nilai lebih dari sekadar harga diri, namun keputusannya dan sepak terjangnya selama ini wajib diapresiasi, diteladani, dan dihargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H