Namun, untuk timnas U-20, saya menyayangkan, mengapa harus diampu juga oleh Tae-yong dengan berbagai pertimbangan matematis yang sudah saya ungkap.Â
Karenanya, sikap Fakhri Husaini menolak hanya dijadikan asisten Tae-yong di timnas U-20 jelas sebuah "pelecehan" profesi anak bangsa sendiri.Â
Korea Selatan saja dalam ajang Piala Dunia memercayakan Tae-yong yang anak asli Korea Selatan, membesut timnas mereka.Â
Sama dengan kondisi Tae-yong yang dipercaya federasi sepak bola Korea Selatan, seharusnya dengan sederet prestasi Fakhri dalam membesut timnas kelompok umur tersebut, hingga meloloskan timnas U-19 ke Piala Asia, bukanlah prestasi yang main-main sebagai SDM asli anak bangsa.Â
Atas fakta yang kini terjadi, bahwa demi harga diri, Fakhri menolak didudukkan sebagai asisten Tae-yong di timnas U-19/20, adalah sikap "patriot," jauh dari aji mumpung dan memanfaatkan keadaan.
Dalam kondisi ini, maaf, saya juga menyebut, ternyata TIPS SDM pengurus PSSI setali tiga uang dengan para calon pemain timnas senior Indonesia yang ada.Â
Ketika Fakhri menolak dengan alasan tegas karena "harga diri" sebab memang sudah mengabdi dan berjuang memberi prestasi, maka sikap Fakhri dapat dijadikan contoh oleh pelatih lokal Indonesia.Â
Fakhri yang saya sebut sebagai mantan pemain nasional yang memiliki TIPS di atas standar umumnya pemain Indonesia, lalu signifikan pula jabatan pekerjaan tetapnya di perusahaan yang juga milik negara, maka Fakhri jelas memiliki posisi tawar dan harga diri.Â
Tak menjadi pelatih nasional pun, Fakhri tidak makan dari sepak bola. Bagaimana dengan para pelatih dan pemain sepak bola lain Indonesia yang hingga kini hanya hidup dan mencari makan dari sepak bola?Â
Tentu tak akan bertindak tegas dan idealis seperti Fakhri. Bukan begitu bukan?Â
Sikap dan prestasi Fakhri antara sepak bola sebagai hobi sekaligus profesi, namun juga bekerja di luar sepak bola bahkan sudah menduduki jabatan tinggi sebagai karyawan di Pupuk Kaltim, harus membuka mata anak-anak Indonesia dan para orang tuanya.Â