Nah, dari Diklat atau Akademi tersebut, ternyata dapat saya hitung yang benar-benar menempatkan program pendidikan formal dan agama di nomor 1 dan sepak bola di nomor 2 atau tiga, meski tujuan siswa mau berkarier di profesi sepak bola.Â
Karena program pendidikan dan agama ditempatkan di nomor 1, maka Diklat atau Akademi/Sekolah tersebut, menggaransi siswanya benar-benar mendapatkan nilai-nilai tugas, nilai ulangan, nilai ulangan tengah semester (UTS), nilai ulangan akhir semester (UAS), dan nilai ujian sekolah, benar-benar valid dan murni dari hasil proses Kegiatan Belajar Siswa (KBS) atau Akademi/Sekolah, bukan nilai "cincai" (untung) dan "rekayasa".Â
Atas semua kondisi benang kusut pendidikan formal atlet olahraga Indonesia yang hingga kini masih sangat bermasalah dan membahayakan "kecerdasan" atlet olah raga seluruh Indonesia, karena lembaga yang ada juga belum dapat menjawab dan mengentaskan solusi masalah ini.
Saya sedikit lega dengan kehadiran berbagai wadah yang dibentuk oleh pihak swasta maupun "perorangan" dalam bentuk Diklat/Akademi/Sekolah Sepak bola.Â
Dari catatan dan pengamatan saya selama ini, pemerintah dan stakeholder terkait, dapat menengok keberadaan Diklat Merden Jawa Tengah, Asifa Malang, dan Sekolah Cipta Cendekia di Karadenan Bogor Jawa Barat, dll.
Dalam kesempatan ini, saya mencoba mengulas Diklat Merden dan Cipta Cendekia dulu.
Baik Diklat Merden maupun Cipta Cendekia, sepak-terjangnya sudah diakui publik sepakbola nasional maupun internasional.Â
Diklat Merden yang didirikan oleh Rokhman Supriyadi dan Sekolah Cipta Cendekia yang Direktur Program Sepak Bolanya adalah Dede Supriyadi, dapat dijadikan contoh alternatif paling valid untuk pemerintah dan stakeholder terkait.Â
Baik siswa di di Diklat Merden maupun Cipta Cendekia, yang keduanya juga "boarding", menempatkan pendidikan formal di nomor 1. Bahkan, di Diklat Merden, siswa juga wajib hafiz Al-Quran.Â
Atas proses pendidikan dan proses pembinaan dan pelatihan sepak bola di kedua wadah ini, siswanya juga digaransi naik kelas dan lulus sekolah karena kemampuan pedagoginya, sebab mengikuti program pendidikan sekolah formal yang sebenarnya.Â
Bahkan saat ada siswa yang dibutuhkan oleh "pihak lain" karena membutuhkan jasa olah bolanya, baik Diklat Merden maupun Cipta Cendekia juga tetap fokus kepada kewajiban belajar siswa bersangkutan karena sama-sama mengikuti aturan pendidikan formal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.Â