Langit di bumi Kuala Lumpur masih cerah. Yahya Hernanda merebahkan tubuhnya di lapangan rumput. Di sudut lain, Amin Rasyid, Ady Joko Putra, Cahyana, Dani Setyo, dan Yahya Muhaimi bersujud syukur.
Mereka lantas menangis. Para pemain di bench ikut menyerbu ke tengah lapangan. Berteriak histeris, berpelukan, lalu menangis. Sebuah pemandangan yang haru. Saya merekam nuansa emosional itu.
Rasa senang, bangga, dan sedih bercampur jadi satu. Di tengah keterbatasan yang dimiliki oleh para pemain timnas sepak bola Celebral Palsy (CP), mereka bisa memberikan yang terbaik untuk negara Indonesia. Mereka membuktikan bahwa keterbatasan bukan hambatan.
Ya, final sepak bola ASEAN Para Games di Field C National Sports Council, Bukit Jalil, Malaysia, itu berakhir menggembirakan. Tim sepak bola difabel Indonesia menggasak Thiland 3-0.
Hasil yang sempurna, karena pada fase grup Yahya dan kawan-kawan juga menang 2-1 atas Negeri Gajah Putih itu. Kalungan medali emas yang diterimanya juga mensejatikan kontingen Indonesia sebagai juara umum dengan raihan total 126 medali emas. Jauh melampaui target 107 emas.
Di cabang sepak bola CP ini, satu tim beranggotakan 7 pemain dengan 4 tingkat Cerebral Palsy berbeda, dari tingkat yang paling tingan (C8) hingga yang terberat (C5).
Seorang pemain dengan fisik yang kelihatan tidak sempurna, misalnya, bisa berhadapan dengan seorang lawan yang secara fisik kelihatan normal walaupun sebenarnya juga memiliki keterbatasan tertentu. Bagi saya ini seperti refleksi bahwa hidup terkadang tidaklah adil.
Saya yang berdiri di belakang bench pemain waktu itu, menjadi saksi tekad dan semangat kerja keras tim asuhan Fadilah Umar. Saya terharu dan memujinya dalam hati.
Dari kejauhan saya merasakan kegembiraan mereka. Saya merasakan tangisnya. Tangis mereka adalah emas. Jiwa dan raga mereka emas. Hati saya bergetar ketika pelatih Fadilah Umar memeluk saya erat-erat dan berbisik: "Terima kasih mas atas dukungan dan doanya."
Merinding bulu kuduk saya. Saya melihat ada sesuatu yang berbeda dari Yahya dan kawan-kawan. Mereka mampu melawan diri sendiri yang terbungkus dengan keterbatasan. Mereka tidak dirasuki berbagai kepentingan, selain ingin membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah pembatas. Tanpa niat dan kerja keras yang terlihat mustahil diraih kesuksesan.
"Saya ingin membuktikan bahwa sepak bola Indonesia bisa berkibar di Asia Tenggara. Sejak awal kami sepakat untuk menjadi yang terbaik. Kami adalah emas," tutur kapten Yahya.