Prostitusi umumnya legal di Portugal. Tapi ilegal bagi pihak ketiga untuk mengambil keuntungan. Pekerja seks atau prostitusi di sana bukan kejahatan. Kliennya juga tidak dianggap sebagai penjahat di bawah hukum.
Dengan kata lain, pekerjaan di dalam maupun di luar tidak dilarang atau diatur. Namun ada batasan kondisi kerja yang timbul dari kebiasaan, bukan hukum. Tapi ditegakkan oleh polisi.
Ada area di mana pekerja seks luar tidak bisa bekerja. Dan pembatasan di mana mereka dapat bekerja di dalam ruangan. Hukum secara teknis hanya berlaku untuk pihak ketiga. Bukan pekerja atau klien.
Wajar jika tiap pagelaran Piala Eropa atau Piala Dunia, tuan rumah acap impor pekerja seks. Karena seks menjadi bagian dari daya tarik pariwisata. Di Piala Eropa Portugal 2004, saya menemui pekerja seks dari berbagai negara. Di antaranya datang dari Uzbekistan, Armenia, Spanyol, Inggris dan Eropa Timur.
Kehadiran mereka jadi magnet tersendiri bagi para suporter. Tarifnya relatif murah: 25 euro atau sekitar Rp 450 ribu (kurs sekarang) sekali kencan. Itu sudah bersih, termasuk alat kontrasepsi.
Negeri semenanjung Iberia itu sejatinya tergolong negara miskin untuk kategori Eropa. Portugal berada di urutan kesemblan di Uni Eropa dengan angka kemiskinan paling tinggi.
Tapi, dengan Piala Eropa 2004, terjadi peningkatan ekonomi. Pemerintah Portugal mengeruk untung 97 juta euro dari pajak serta dari Uni Eropa. Selama turnamen, tingkat turis yang datang ke Portugal juga meningkat 41% dari tahun sebelumnya.
Itulah bedanya dengan Brunei. Tanpa hiburan apalagi prostitusi, Negara Petro Dolar itu sudah terlanjur kaya!*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H