Mohon tunggu...
suryansyah
suryansyah Mohon Tunggu... Editor - siwo pusat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

warga depok paling pinggir, suka menulis apa saja, yang penting bisa bermanfaat untuk orang banyak. Email: suryansyah_sur@yahoo.com, siwopusat2020@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tour of Duty, Cari Hiburan di Seberang Negeri Kaya

24 Mei 2021   13:55 Diperbarui: 24 Mei 2021   14:38 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbatasan Brunei dengan Malaysia- foto the star

TIGA minggu di Brunei Darussalam sungguh membosankan. Jauh berbeda dengan negara ASEAN lainnya yang pernah saya kunjungi. Di 'Negeri Orang Kaya' ini terasa hambar. Tak ada kehidupan!

Saking kayanya, mata uang dari berbagai negara yang lecek pun masih laku ditukar di Money Changer. Berbeda dengan di negara kita. Kusam sedikit ditolak Money Changer. Makanya saya tak pernah masukan uang asing di dompet.

Selepas liputan SEA Games Brunei 1999, kepala terasa penat. Tapi, jangan harap dapat tempat hiburan. Bioskop saja tak ada. Apalagi karaoke. Paling 'banter' ke Mall. Bosan...!

Satu-satunya jalan, menyeberang ke Serawak, Malaysia. Selesai dijamu makan siang oleh Sultan Brunei Hassanal Bolkiah di Istana Nurul Iman -- saya dan Hari Buhari, wartawan Pos Kota- tanpa banyak bicara langsung bergerak. Tas hanya berisi kamera dan paspor. Berangkat lewat darat, baliknya menyisir sungai. Malah lebih asik dan cepat.

"Sekalian liputan sisi lain dari kehidupan negeri tetangga. Di sana banyak tempat hiburan. Pasti banyak yang bisa kita tulis," dalih Hari Buhari.

Butuh waktu satu jam dari Bandar Seri Begawan ke Kuala Belait- perbatasan Brunei dan Malaysia. Dari sana dilanjutkan dengan naik boat (perahu motor) untuk menembus Kota Sarawakian Miri, Serawak. Sebelum naik perahu motor petugas imigrasi memeriksa paspor.

Melintasi Sungai Belait lebih menantang. Jalurnya pas-pasan. Kiri kanan masih banyak semak-semak seperti medan perang. Suara hewan saling bersahutan. "Kita seperti tour of duty (film perang Vietnam dan AS), seram juga ya hanya untuk cari hiburan," ujar Buhari yang sempat deg-degan.

Sekitar 30 menit tiba di tujuan. Tempat hiburan berjejer di sisi jalan. Tertata rapi dan bersih tempatnya. Banyak cafe dan arena 'permainan' orang dewasa. Masukan uang kertas di sebuah mesin, kita bisa melihat live adegan panas.

Tapi tidak seperti tempat hiburan di Jakarta yang banyak pengunjungnya. Kabarnya di sinilah masyarakat Brunei melepas penat tiap akhir pekan. Itu pun hanya mereka yang berkantong tebal. Butuh suasana berbeda.

Seorang wanita muda menyambut di bibir pintu masuk. Cukup ramah. Logat melayunya sangat kental. Kami memilih tempat di sudut. Supaya lebih nyaman berkomunikasi. Juga santai.

"Saya baru setahun bekerja. Di sini tuan bebas mau 'ngapain aja' yang penting happy," tutur wanita muda itu yang mengaku berasal dari Kalimantan.

Wanita itu bercerita banyak soal kehidupannya. Dia juga memberi pandangan masyarakat di sana, tempat-tempat hiburan yang ada di sekitar sambil menawarkan minuman beralkohol. Satu loki ketika itu dihargai sekitar Rp 50 ribu (setelah dikonversi dari dolar Brunei).

Lumayan mahal untuk kantong kami! Tapi setimpal dengan informasi yang kami dapat. Wanita itu juga menawarkan jasa bermalam. Dia bilang disini nyaman, tinggal pilih teman tidurnya. Tapi, wanitanya rerata pemalu. Hanya saja kami memilih kembali ke Bandar Seri Begawan.

Tanpa sadar kami kejar-kejaran dengan waktu. Karena pesawat ke Jakarta take off pukul 12.00 siang. Saya sempat panik ketika tiba di tempat penginapan. Koper-koper tak ada di tempat. Teman-teman satu penginapan juga sudah menghilang. Saya lihat di meja ada secarik kertas. "Posisi dimana? Semua koper gue angkut ke bandara. Pesawat take off jam 12." Begitu pesannya.

Hati tidak tenang. Tapi keringat seperti kulit jagung. Sisa waktu satu jam untuk menuju ke bandara yang berbasis di Pangkalan Udara Rimba Air itu. Sopor taksi saya minta tancap gas. Sekitar 5 menit sebelum pintu pesawat ditutup kami tiba. Saya dan Buhari menjadi penumpang terakhir. Plong...!

Berbeda dengan kehidupan di Eropa. Saya tak pernah bosan. Bukan hanya banyak tempat hiburan, tapi bentuk bangunannya juga eksotis. Ada tempat tongkrongan favorit di tiap kota.

Di Portugal, misalnya. Ada Rossio! Terletak di pusat kota Lisbon. Rossio tak pernah tidur. Apalagi ketika Piala Eropa digelar Juni-Juli 2004. Para suporter menggelar pesta sebelum dan setelah pertandingan. Mereka bernyanyi sambil menenteng botol bir. Tapi tidak 'rese' seperti suporter di Tanah Air. Layar raksasa ada di setiap sudut cafe.

Dulunya, Rossio salah satu alun-alun utama sejak abad pertengahan. Tempat pemberontakan dan perayaan populer, adu banteng dan eksekusi. Sekarang menjadi tempat pertemuan yang disukai penduduk asli Lisbon dan turis.

Berbagai kehidupan ada di Rossio. Bento--pria kelahiran Timor Leste- mengaku kerasan tinggal di Portugal. Dia memilih menjadi warga Portugal setelah Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia pada 30 Agustus 1999.

"Orang Timor Leste menjadi prioritas ketimbang warga Brasil di sini. Makanya proses kewarganegaraan Portugal saya terbilang cepat," kata Bento yang saya temui di Rossio.

Saya memaklumi, karena Timor Leste pernah menjadi koloni Portugal selama lebih dari 400 tahun. Bento juga banyak bicara politik. Tapi saya tak tertarik. "Kita tetap bersaudara walau saya sekarang orang Portugal," tuturnya sambil nyeruput kopi.

Pandangan matanya kemudian menuntun saya ke sebuah tempat. Bento tahu mana wanita nakal dan baik-baik. Dia punya kartu truf untuk membedakannya. Hampir di pinggir jalan ada wanita nakal. Mereka biasa mangkal di depan sebuah toko.

Prostitusi umumnya legal di Portugal. Tapi ilegal bagi pihak ketiga untuk mengambil keuntungan. Pekerja seks atau prostitusi di sana bukan kejahatan. Kliennya juga tidak dianggap sebagai penjahat di bawah hukum.

Dengan kata lain, pekerjaan di dalam maupun di luar tidak dilarang atau diatur. Namun ada batasan kondisi kerja yang timbul dari kebiasaan, bukan hukum. Tapi ditegakkan oleh polisi.

Ada area di mana pekerja seks luar tidak bisa bekerja. Dan pembatasan di mana mereka dapat bekerja di dalam ruangan. Hukum secara teknis hanya berlaku untuk pihak ketiga. Bukan pekerja atau klien.

Wajar jika tiap pagelaran Piala Eropa atau Piala Dunia, tuan rumah acap impor pekerja seks. Karena seks menjadi bagian dari daya tarik pariwisata. Di Piala Eropa Portugal 2004, saya menemui pekerja seks dari berbagai negara. Di antaranya datang dari Uzbekistan, Armenia, Spanyol, Inggris dan Eropa Timur.

Kehadiran mereka jadi magnet tersendiri bagi para suporter. Tarifnya relatif murah: 25 euro atau sekitar Rp 450 ribu (kurs sekarang) sekali kencan. Itu sudah bersih, termasuk alat kontrasepsi.

Negeri semenanjung Iberia itu sejatinya tergolong negara miskin untuk kategori Eropa. Portugal berada di urutan kesemblan di Uni Eropa dengan angka kemiskinan paling tinggi.

Tapi, dengan Piala Eropa 2004, terjadi peningkatan ekonomi. Pemerintah Portugal mengeruk untung 97 juta euro dari pajak serta dari Uni Eropa. Selama turnamen, tingkat turis yang datang ke Portugal juga meningkat 41% dari tahun sebelumnya.

Itulah bedanya dengan Brunei. Tanpa hiburan apalagi prostitusi, Negara Petro Dolar itu sudah terlanjur kaya!*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun