SUASANA begitu sakral. Di luar angin pagi mendesau. Daun-daun berguguran. Terbaring di tanah basah. Satu per satu berguguran. Semua seperti tak berarti.
Selepas solat Subuh, Tejo sejenak terpaku. Detak jantung terasa lebih cepat dari biasanya. Sesekali dia menarik napas dalam-dalam.
"Tenang...ini hari kebahagiaan kamu. Jangan berpikir yang aneh-aneh," seraya ada yang berbisik di telinga Tejo.
Entah suara siapa. Entah dari mana asalnya. Dia seakan tahu isi pikiran Tejo. Secangkir kopi sedikit memberi ketenangan.
Matahari mulai menampakkan sinar ketika sesak di dada meredah. Suara salam terdengar dari balik pintu. "Berangkat jam berapa," kata Muklis sesepuh lingkungan Tejo tinggal.
"Rombongan sudah siap untuk mengantar pengantin pria," seloroh Argan yang menyiapkan mobilnya untuk Tejo dan keluarga.
Tejo tak berdaya menolak. Ditodong para sahabatnya yang berbaik hati. Dia takut mengecewakan. Walaupun dia harus bertempur melawan hati kecilnya.
Sebenarnya Tejo tak ingin pernikahan keduanya diketahui sahabatnya. Ketua RT pun tidak diberitahu kapan dia akan menikah. Tejo hanya minta surat pengantar sebulan sebelumnya. Dia tak punya rencana mengumumkan ke lingkungan tempat tinggalnya. Cukup keluarga saja. Begitu pikirnya. Sah secara agama dan negara. Sesederhana itu...!
Bukan karena malu usianya yang separuh abad. Pun wanita yang jadi pendampingnya jauh lebih muda. Tidak..! Bukan itu alasan Tejo. Tapi dia masih menyimpannya sangat rapi di lubuk hati. Tidak ada tanda dari sepatah kata yang terucap. Entah kenapa...
"Ayo kita berangkat, santai aja tidak perlu ngebut. Waktunya masih cukup panjang. Jalan juga pasti lancar tidak macet bukan hari kerja. Terlalu cepat sampai sana juga tidak enak," imbuh Tejo.
Tejo sengaja berpakaian biasa. Hanya kaus di badan. Berbeda dengan sahabat yang mengantarnya. Style habis dan wewangian parfum menembus hidung. Baju putih lengan panjang, celana kompak hitam.