Bukankah pohon berkambium adalah yang terlebih dahulu diciptakan, sebelum manusia?
Satya melipat tangannya. Aku berjalan menyaruk-nyarukkan ujung jari kaki ke tanah kering tempatku berpijak. Sungguh, kemarau kali ini mendatangkan rasa kering yang begitu kental. Panas. Kering. Angin kencang. Debu.
"Gusti sedang apa?" Tanya Satya kepadaku.
Tanpa menoleh padanya aku menjawab, "Sedang bicara dengan rumput-rumput kering yang mati terinjak-injak lalu menggelepar di tanah kering yang tak juga  tersentuh air hujan walaupun hanya setetes"
Suaraku terbawa angin. Pasti sampai di telinga Satya hanya sebagian. Mungkin hanya kata 'bicara' saja yang menendang gendang telinganya, selebihnya, seperti dimuntahkan lagi oleh angin yang lalu lalang dan gampang beralih haluan. Herannya Satya tetap tersenyum dan melipat tangannya. Langkahku semakin membuat jarak semakin lebar antaraku dan dia.
Dia mengamatiku.
Sesampai aku di pokok pohon Nagasari. Aku berhenti. Telapak kaki dan kesepuluh jari kakiku penuh debu. Kulitku yang semula putih bersemu merah, kini seperti berbedak abu coklat. Hampir seperti buah Kesemek.
Pohon Nagasari di hadapanku belum terlalu tua usianya. Masih bisa kupeluk lingkar pinggangnya. Daunnya indah menjuntai ke bawah. Daun yang muda berwarna kemerahan. Seperti pipi gadis gunung yang ranum tertimpa matahari pukul sembilan pagi di musim kemarau yang dingin. Aku menyentuhkan kulit telapak jari tanganku pada daun-daun merah jambu itu. Mereka berkelit malu ditiup angin. Mataku menyipit karena tawa. Mengerti juga Nagasari ini bercanda.
Kudengar derai tawa di belakangku. Dua warna suara tawa. Saat kucari sumber dua suara tawa itu, kulihat dua makhluk berdiri bersisihan. Yang seorang dengan kulitnya yang kecoklatan gelap, yang seorang lagi lebih cerah dan sewarna denganku. Kaget juga saya melihat Prabangkara ada di sana.
"Gusti Ayu, bercanda dengan angin, atau dengan pohon Nagasari?"
Tanya Satya memecahkan hening yang segera disambut gelak tawa Prabangkara.