"Masih ada 249 bait lagi, Satya," ujarmu sambil menoleh kepadaku. Tersenyum. Seperti menantangku untuk menembangkan seluruh karya Eyang Ronggowarsito berjudul Jayengbaya itu.Â
"Sendika dhawuh, Gusti," ujarku meladeni guyonanmu, "Saya tembangkan semuanya. Tapi Gusti Ayu dengerin ya"
"Semuanya pupuh Asmaradana," gumammu sambil menatap di kejauhan.
Lalu kau berkata,
"Tapi penjagaanku atas Kangmas, bukan tentang Asmaradahana, Satya."
"Lalu?" tanyaku.
"Karena dahana yang kujaga adalah dahana tanpa asmara"
Ujarmu tegas.
Pandangmu tajam menatap pantai. Satu ombak besar Pantai Selatan menghantam pulau karang, menggelegar. Kubaca sebagai pengaminan.
Aku miris.
Rupanya itu adalah hari terakhir kau berada di desaku. Terakhir kalinya kamu dan aku bertemu. Esoknya kau pergi, dijemput Prabangkara di Badranaya. Kalian berpamitan padaku, untuk sebuah episode panjang perjalanan yang harus kalian lakonkan. Aku tak tahu lagi apakah setelah ini aku akan memimpikan kalian berdua lagi. Yang kutahu pasti, aku akan selalu mendoakanmu.
Aku masih ingat saat pelukan perpisahanmu kau berucap: