"Nggak sekarang, kok, Sat," katanya menatapku ramah, "Kita ngobrol-ngobrol dulu lah. Kan baru sekarang kita ketemu, walaupun Gusti Ayu sudah sering cerita tentangmu"
Prabangkara memberi tekanan intonasi saat mengucap kata Gusti Ayu lalu tawanya mengudara dengan renyah dan menulariku.
"Kalian..." ujarmu.
Kita ngobrol seru tentang kedaiku sebelum kalian berdua pergi berkuda.
***
Sejak pertemuan itu, aku semakin enggan menemuimu. Tepatnya aku menghindar. Aku nggak sanggup mengendalikan rasa iriku pada Prabangkara. Ini mungkin sekedar rasa suka saja. Rasa-ku kepada-mu. Bukan cinta. Tapi seringan-ringannya sebuah rasa, ia tetaplah rasa. Rasa pasti diiringi dengan asa. Harapan. Rasa dan asa butuh dikelola. Aku cukup tahu diri, tentang siapa aku dan siapa kamu. Sehingga menyingkir adalah cara mengelola rasa termudah bagiku, meskipun aku terlihat seperti seorang pengecut. Aku jarang muncul di pantai sekitaran Samudra Beach Hotel. Apalagi di Badranaya. Â
Entah bagaimana, kau menemukan aku di sebuah pantai di dekat kebun kelapa. Â Kamu datang sendiri.
"Kemana saja kamu, Satya?"Â
Aku tak menjawab. Kita duduk di saung beratap jerami di tebing pantai. Saung yang kecil saja, berukuran 2m x 2 m. Tinggi kayu tempat duduknya hanya berjarak 40 cm dari permukaan tanah. Saung tanpa dinding. Kamu menyandarkan punggung di tiang kayu sisi kiri, karena aku sudah menempati posisiku di tiang sebelah kanan. Â Dari situ kita bisa memandang sebuah muara sungai terhampar dengan pulau karang sebagai batas antara ekosistem sungai yang payau dan ekosistem samudera raya yang sepenuhnya berair asin jauh di bawah sana. Angin kencang bertiup. Kau merapatkan jaketmu.Â
Alih-alih saya menjawab pertanyaanmu, Â saya justru berkata,
"Gusti Ayu, dengerin ya"