Aku menuntun Bedjo yang sudah bosan diam. Ia ingin diajak melangkah lagi, berjalan. Pantai Pelabuhan Ratu pagi ini penuh halimun. Meskipun matahari murah sekali menebarkan cahayanya. Kamu mengikutiku berjalan. Tetapi memilih berjalan disamping Bedjo. Tidak disampingku.
Kulihat sekilas, kau mengangguk.
Aku memperbaiki topi koboiku.
"Saya lebih suka menyebutnya sebagai Asmara Dahana, Gusti. Karena dengan menyebutnya begitu, lebih bermakna buat saya. Asmara adalah cinta. Dahana adalah api. Api cinta. Sebuah nyala yang abadi. Bukankah begitu, Gusti Ayu?"
Kau memandangku dengan matamu yang kelam. Bagiku kau tetap cantik dan anggun. Kita berjalan semakin menjauhi pasir putih pelataran Samudera Beach Hotel. Beberapa meter ke depan adalah situs Batu Karut. Bebatuan mulai bermunculan di tepian pantai. Ombak berdebur-debur. Hantamannya terkadang lembut, terkadang sekencang degup jantungku saat tatap mataku bertemu tatap matamu. Meskipun aku sadar degup itu tak kau rasakan. Sama sekali.
"Iya, Satya. Energi cinta lah yang membuat seluruh kehadiran di semesta ini."
"Jadi, Gusti Ayu sudah tahu sekarang mengapa Gusti harus menjaga Prabangkara?"
Ia menghentikan langkah. Bedjo tidak. Buru-buru kuminta Bedjo berhenti. Batu Karut tinggal 5 meter di hadapan kami. Menurut perasaanku, Batu Karut pagi ini sungguh terasa berbeda. Seperti diselubungi ion-ion nitrogen yang menggandeng aroma kesedihan di setiap rantainya. Seakan-akan pohon-pohon menunduk sedih. Daunnya pun enggan bergerak meski angin sepoi-sepoi menerpa.
"Kata kuncinya adalah 'dahana', Satya."
"Hmmm... jadi, Gusti harus menjaga Sang Api"
"Iya"